Bimala
Hujan mulai menderas, sederas rasaku yang tak terbendung. Layar imajinasiku mulai terbentang menembus langit gelap di hadapanku. Jika hati ini adalah bendungan, memiliki palang-palang pintu yang menahan air—sebagai rasaku—sedemikian rupa, kurasa banjir takkan terelakkan lagi, rumah-rumah terendam, pohon-pohon tergenang, motor-mobil tertahan di jalanan. Ah, ternyata rasa yang membuncah itu bisa merusak ya , gumamku. Kuhapus layar imajinasi itu, kutarik napas dalam-dalam, hembuskan perlahan. Kukira hanya itu cara terbaik menenangkan diri saat ini. Kusandarkan punggungku yang lelah setelah seharian bekerja, membiarkan udara lembap yang terbawa hujan deras menampar-nampar wajahku. Terhanyut.