Bimala
Hujan mulai menderas, sederas rasaku yang tak terbendung. Layar
imajinasiku mulai terbentang menembus langit gelap di hadapanku. Jika hati ini
adalah bendungan, memiliki palang-palang pintu yang menahan air—sebagai rasaku—sedemikian
rupa, kurasa banjir takkan terelakkan lagi, rumah-rumah terendam, pohon-pohon
tergenang, motor-mobil tertahan di jalanan. Ah, ternyata rasa yang membuncah
itu bisa merusak ya, gumamku. Kuhapus layar imajinasi itu, kutarik napas
dalam-dalam, hembuskan perlahan. Kukira hanya itu cara terbaik menenangkan diri
saat ini. Kusandarkan punggungku yang lelah setelah seharian bekerja,
membiarkan udara lembap yang terbawa hujan deras menampar-nampar wajahku. Terhanyut.
“Mal, bangun. Ponselmu dari tadi bunyi, tuh,” seru
seseorang tepat di telingaku. Aku tahu betul siapa dia, gaya membangunkannya
sudah sangat familiar bagiku. Aku mengerjap sambil meraih ponselku di atas
kasur. Duh, Emak!
“Assalamu’alaykum, Mak,” sapaku.
“Wa’alaykumussalam. Dari mana, Neng? Ditelepon dari tadi,
baru diangkat,” Emak menggerutu gemas. Aku hanya terkekeh, “ketiduran, Mak. Ada
apa? Mak sehat?”
“Sehat. Kapan kemari, Neng? Bapak sudah resah,” seperti
biasa, Emak tidak menanyakan kabarku, firasatnya selalu tepat. Pasti ia tahu
tubuhku sehat, tapi hatiku sedang tidak sehat, maka dari itu ia meneleponku. Aku
mengetuk-ngetuk kepalaku dengan pulpen. Sebentar, tadi aku tidur sambil
menggenggam pulpen?
“Ada apa lagi, sih, Mak? Mala lagi sibuk,” jawabku
sekenanya.
“Sibuk kok sempat-sempatnya ketiduran!” aku terkejut. Ah,
aku salah memberi jawaban, “kamu lupa, atau pura-pura lupa? Ilham anaknya Kiyai
Rofa sudah menunggu jawabanmu selama dua minggu. Segera jawablah, jangan
digantungkan begitu, kasihan anak orang! Anak Kiyai pula!” lanjutnya.
Alamak, dia lagi, dia lagi. Sudah hampir lupa aku
dengannya.
“Ampun, Mak. Mala lupa. Jawab saja tidak.”
“BIMALA!” teriak Emak begitu keras, aku sampai benar-benar
terkejut, “sudah istikharah belum kamu?!”
“Mala belum mau menikah, Mak…” jawabku. Aku tidak berbohong,
saat ini aku memang belum mau menikah dengan siapapun selain dirinya. Sakit di
kepalaku semakin menjadi. Apa aku salah? Durhakakah aku?
“Usiamu 25 tahun, Neng,” kata Emak sedikit melunak, “dan
Ilham itu orang baik, mau ditaruh di mana muka Emak jika alasanmu menolaknya
karena kamu belum mau menikah?”
Aku terdiam, merenung. Aku butuh berpikir jernih. Maka kukatakan
pada Emak, “besok pagi Mala telepon ya, Mak. Mala harus merenungkannya.”
“Besok pagi. Jangan ditunda lagi. Jamu racikan Emak diminum,
Neng. Biar pusing mendadakmu itu gak kambuhan lagi. Assalamu’alaykum!”
tanpa memberiku kesempatan bicara Emak sudah menutup teleponnya. Wa’alaykumussalam,
lirihku. Kepalaku seperti ditusuk-tusuk jarum sebesar gagang sapu. Selalu seperti
ini, sejak kecelakaan besar yang
menimpaku dan adikku satu-satunya 10 tahun silam, sakit kepala ini mulai
sering hadir di setiap bingungku, di setiap takutku. Walaupun teknologi canggih
di dunia medis memberikan bukti otentiknya bahwa tidak ada hal buruk apapun
yang menimpa kepalaku, dari luar hingga dalamnya.
“Ilham, Ilham, ILHAAAAAM!” teriakku. Welan, sahabatku
sekaligus tetangga kamarku seperti tergopoh-gopoh berlari dari kamarnya,
melongok dengan wajah kagetnya, “siapa itu Ilham, Mal? Kamu gak pernah
cerita..”
Aku terpaku, “bukan siapa-siapa,” jawabku cepat. Kuambil handuk
dan alat mandiku, bergegas ke kamar mandi, sore sudah hampir berakhir. Mentari yang
sejak tadi tertutup awan tebal sepertinya sudah tenggelam di ufuk barat. Kulewati
Welan yang masih mengerutkan dahinya di samping pintu kamarku. Setelah lima
meter aku berlalu, ia berkata, “aku gak mau tahu perasaan kamu lagi
gimana, pokoknya malam ini harus cerita!”
***
Kita seperti remaja tanggung jika topik tentang ini muncul,
ya, tentang sosok lelaki. Saya dan Welan sebenarnya bukan teman lama, kita
bertemu baru tiga tahun yang lalu, ketika aku sudah hampir lulus dari studiku.
Ia yang bernasib sama denganku, mahasiswa tingkat akhir, yang tempat nongkrong-nya
pindah ke Perpustakaan Daerah, menyapaku di suatu siang. Jadilah perpustakaan
ini menjadi tempat bersejarah bagi kita, permulaan singkat yang mengantarkan
kita pada perjalanan panjang nan menantang. Kini ia sedang menunggu ceritaku,
sambil mengaduk-aduk coklat panasnya. Aku menyeduh coklatku, menghembuskan
napas pelan, dan mulai bercerita.
“Ilham itu tetanggaku. Lebih tepatnya tetangga RT. Sejujurnya
aku jarang sekali bertemu dengannya, ia sudah disekolahkan di pondok pesantren
sejak sekolah dasar. Itu kata Bapakku, aku tidak pernah mencari tahu
tentangnya. Nah, sebulan yang lalu ia baru pulang dari Malaysia setelah satu
tahun kelulusan magisternya. Jangan tanya aku apa konsentrasi studinya, aku
tidak berkeinginan menanyakan itu, yang kutahu ia sudah diterima bekerja di
Kalimantan, di bagian pertambangan. Ya, bisa disimpulkan konsentrasinya tidak
jauh-jauh dari tambang, tho?” kugantungkan kalimatku sambil mengunyah
makanan ringan yang menggiurkan di hadapanku. Welan mengerjap, menungguku
mengunyah.
“Gak ada yang mau ditanyain dulu?” tanyaku.
“Belum apa-apa, Maaal! Lanjut!” jawabnya, aku terkekeh.
“Iya, Bapaknya itu Kiyai, Lan. Ya, meskipun aku tinggal di
perumahan di pinggir kota, perumahanku itu taat-taat, lho, orangnya. Maksudnya
suka ngaji, menghormati Kiyai, malam-malam baca puji-pujian, shalawatan
gitu. Kalau lebaran yang wajib dikunjungi dan sungkem ya Kiyai,” jelasku
mencoba meyakinkan. Welan mengangguk-anggukkan kepalanya, sepertinya ia tidak
begitu tertarik pada bagian itu. Aku tersenyum sebelum melanjutkan, “nah,
karena beliau adalah orang yang sangat dihormati di perumahan, Bapak dan Emakku
gak sampai hati menolak kedatangan serta niat baik Ilham untuk
meminangku.”
“NAH! Mulai seru, nih!” seru Welan dengan mata
berbinar dan posisi duduk yang lebih bersemangat. Aku jadi malas
melanjutkannya, “jadi yang tadi-tadi belum seru?”
“Belum. Lanjut!” jawabnya sekenanya.
Aku melihat ponselku sejenak, membuka notifikasi. Lalu kututup
kembali. Sekarang aku sedang tidak tertarik pada notifikasi apapun jika tidak
berhubungan dengannya. Semoga tidak ada yang urgent dibalas,
batinku.
“Lanjut, ya. Ilham datang ke rumahku dua pekan yang lalu,
Kamis malam. Nyaris saja, nyaris yang aku sesali. Karena jika ia datang ke
rumahku esok paginya, aku pasti sudah tidak di rumah. Aku sudah memanjakan mata
melihat pemandangan di sepanjang rel kereta,” lanjutku.
“Oh, jadi itu terjadi tepat sebelum kamu sampai di sini dua
pekan yang lalu?” tanyanya. Aku paling malas menjawab pertanyaannya yang macam
ini, karena ia hanya mengulang pernyataanku, dibalik menjadi sebuah kalimat
tanya. “Iya,” jawabku. Tapi aku tahu persis dia sedang menunjukkan perhatian
penuhnya pada ceritaku. Aku tersenyum.
“Kamu memendam cerita itu dua pekan, Mala! Parah kamu!” kata
Welan tanpa kuduga. Kupikir ia hanya sok bertanya seperti biasa,
ternyata ia sedang memastikan bahwa aku terlalu lama menyembunyikan ceritaku. Kuberikan
wajah memelasku, meminta belas kasihan. Kali ini aku tidak bisa mengelak, aku memang
menyembunyikan cerita itu.
“Maaf, yaaaa…” pintaku. Welan memutar bola matanya, menghela
napas dan mengisyaratkan dengan kepalanya agar aku melanjutkan ceritaku.
“Ih, cantiknyaaa, kamu,” rayuku sambil mencubit kedua
pipinya pelan. “Baik, aku lanjutkan. Malam itu, untuk pertama kalinya aku
melihatnya sejelas itu, di bawah lampu ruang tamuku yang entah mengapa sangat
menyilaukan bagiku malam itu. Bapak dan Emak duduk berdampingan, sementara aku
duduk sendiri, dan si Ilham itu datang sendiri! Secara to the point, ia
menyampaikan niat baiknya. Katanya, ia sudah dapat restu dari kedua orang
tuanya. Agak berlebihan memang menurutku, ia menceritakan bagaimana respon
Kiyai Rofa ketika mendengar penuturan anaknya tentang niatan itu. Mau tahu
bagaimana ia menceritakannya?” tanyaku memancing rasa penasaran Welan. Tanpa basa-basi
ia menjawab, “mau lah! Pakai nanya!”
“Hehehe, begini, ‘kata Ayah, Bapak Rano dan Ibu Sarah adalah
sahabat karib Ayah dulu, Ayah benar-benar mengenal budi pekerti Bapak dan Ibu
yang harum seantero desa. Terlebih anak pertama sekaligus satu-satunya itu
adalah seorang dokter yang shalihah, taat pada kedua orang tuanya, suka
menyantuni anak yatim. Jika dia adalah orang yang kamu pilih untuk menjadi
pendamping hidupmu, Ayah sangat setuju, dan akan mendukung dengan sepenuh hati.’”
Aku menghentikan ceritaku sejenak, memasang wajah paling datar sedunia. Sementara
Welan, wajahnya sudah seperti buah jambu.
“BUAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!” dan meledak juga. Sudah kuduga, ia
akan terbahak. Aku tahu karena wajahnya selalu menunjukkan kejujuran. Kutunggu sampai
dia selesai tertawa.
“Hahahah, hahah, oke, oke lanjut, Mal…” katanya di ujung
tawa. Tangannya masih memegangi meja, terlihat ia sangat berusaha mengondisikan
dirinya sendiri.
“Hmmmm, yaaaa, bagiku itu juga lucu. Tapi yang aku tidak
habis pikir, mengapa ia begitu yakin padaku? Well, sebelum ia
menyampaikan niatnya itu kepada Ayahnya pastilah ia sudah menguatkan tekadnya,
bukan?” tanyaku.
“Kamu gak pernah ngobrol langsung sama dia?”
Welan balik menanyaiku dengan ekspresi serius. Aku menggeleng mantap.
“Kamu pernah gak kepeleset di depan dia, atau
barangmu jatuh di depan dia? Ataaau, kamu pernah shalat sendirian di masjid dan
dia ngeliat kamu?” tanyanya secara beruntun. Dasar korban sinetron. Aku kembali
menggeleng mantap, kali ini disertai penegasan dari mulutku, “menurut
kesadaranku, tidak.”
Sebelum Welan bertanya lagi aku melanjutkan ceritaku, “kemudian,
Bapak dan Emak meminta agar aku diberikan waktu untuk berpikir. Ilham menyetujui.
Salahnya, saat itu tidak ada kesepakatan waktu, dan, ya, kamu tahu sendiri
bagaimana kesibukanku. Aku benar-benar lupa dengan hari itu. Selama dua pekan
ini Emak sudah meneleponku tiga kali. Tapi aku selalu belum siap menjawabnya. Dan
kali ini Emak benar-benar memaksa. Aku khawatir diamku dianggap iya.”
“Apa yang menghambatmu, Mala?” tanya Welan pelan. Aku sampai
tersentuh, dadaku bergetar mendengar pertanyaan lirihnya. “Aku belum siap.”
Welan menggeleng, “kamu belum siap menghapus lelaki itu dari
ingatanmu? Ini sudah hampir setahun, Mala. Aku yang tidak habis pikir, kenapa
perasaanmu bisa sekuat itu padanya, padahal kalian jarang sekali bertemu. Jarang
sekali!” Welan mengusap wajah dengan kedua tangannya. Sementara aku masih
terpaku, merenungkan kata-katanya. Entah, entahlah. Bagaimanapun aku
harus memberikan jawabanku besok. Aku malas melanjutkannya lagi, kukatakan pada
Welan bahwa aku ingin menenangkan diri agar dapat memberikan keputusan yang
bijak. Aku ingin shalat istikharah malam ini. Welan mengerti, ia beranjak pergi
meninggalkan kamarku setelah mengucapkan doa-doa kecilnya.
***
Pagi ini terasa dingin. Aku menjalani rutinitas pagiku
dengan perasaan gelisah. Sepagi ini Gedung Olahraga sudah ramai, karena ini
hari Sabtu. Aku baru berlari dua putaran, ponselku berdering. Kulihat layarnya.
Hah? Sepagi ini?
“Halo, Assalamu’alaykum, Mak,” sapaku.
“Wa’alaykumussalam. Gimana, Neng? Jawabannya sudah ada?” tanya
Emak tanpa basa-basi. Aku jadi kikuk. Aku duduk di bawah tribun sambil mengatur
napas.
“Mak, Mala belum mantap,” jawabku singkat.
“Kapan pulang, Neng? Pulang dululah, biar Bapakmu tenang.”
“Ya, Mak. Sore ini Mala pulang,” aku segera mengakhiri
pembicaraan. Kurasa ini akan menjadi hari yang panjang bagiku. Kupesan tiket
kereta secara online untuk sore ini.
***
“Neng, ayo segera dijawab! Mantapkan saja, Bismillah…” seru
Bapak. Aku menunduk dalam-dalam, entah mengapa aku selalu takut ketika
berhadapan dengan ketegasan Bapak. Tapi saat ini aku seperti sulit berbicara,
ingin membantah segan, menurut pun enggan. Ada apa dengan diriku?
“Kalau kamu tidak punya keputusan, biar Bapak yang
memutuskan,” kata Bapak lagi. Aku mengangkat wajah, “Pak, Mala tidak siap…”
“Mala, menolak orang baik itu gak baik. Takut fitnah!”
tambah Emak. Aku kembali menunduk. Air mataku sudah mendesak keluar. Tapi aku
tak bisa menangis di depan Bapak. Setegas-tegasnya Bapak, sekeras-kerasnya
Bapak, jika anak perempuan satu-satunya ini menangis, ia akan ikut menangis. Terlebih
setelah meninggalnya adik lelakiku di suatu kecelakaan lalu lintas yang menimpa
kita berdua. Bapak jadi cepat tersentuh. Kutahan kuat-kuat tangisku.
“Sudah, jangan dipaksa,” kata Bapak sambil bangkit dari
duduknya.
“Mala…terserah Bapak saja,” kataku akhirnya. Kalimat itu
mengalir begitu saja. Aku sendiri terkejut dengan ucapanku sendiri. Aku bicara
apa…bagaimana ini? Kulihat Bapak terdiam. Menatap lantai rumah yang
berwarna putih pualam. Berpikir. Dua menit lamanya ia terpaku, hingga akhirnya
melanjutkan langkahnya menuju kamar tidur. Aku tertunduk, tak kuat lagi menahan
air mata yang semakin banyak menggenang. Sampai isakku terdengar, Emak
menepuk-nepuk pundakku, mencoba menenangkan.
Dan malam itu berakhir tragis. Aku tak pernah tau keputusan
Bapak hingga dua malam berikutnya. Ketika Ilham dan keluarganya datang, membawa
banyak bingkisan. Tak sanggup aku menatap wajah dua keluarga bahagia itu. Aku sendiri
tak sebahagia itu. Gerimis di hatiku semakin deras. Siapa yang tahu perasaanku?
Aku tidak pernah membayangkan kisah cintaku akan berakhir dan bermula seperti
ini. Rumah tanggaku akan terbentuk dengan cara se-lempeng ini. Kupejamkan
mata sampai segala proses berlalu, dan kudengar satu pernyataan yang membuat mataku
membelalak.
“Saya mohon izin kepada Bapak Rano dan Ibu Sarah untuk
menikahi putri Bapak dan Ibu esok hari.”
Aku berdiri. Sebelum jawaban itu keluar dari mulut Bapakku,
aku berlari keluar melalui pintu belakang. Berlari tanpa henti. Menaiki
angkutan umum yang kebetulan lewat. Turun di tempat yang tanpa sadar diarahkan
oleh naluriku sendiri. Stasiun. Tempat bersejarah kita. Ponselku bergetar.
Hai, Bimala :)
***
DUARR!!
Kepalaku tersentak. Mataku berat. Kuraih ponselku, 17.40.
Pukul 17.41, aku mengerjapkan mata. Langit gelap tak
berhias, hujan masih menderas, dan petir menyambar-nyambar keras.
Ah, mimpi…
Comments
Post a Comment