REFUND (1)
It’s hard to believe, saya sudah sarjana. Masih terngiang di
telinga tentang obrolan kita 4 tahun lalu, di sebuah angkutan umum, ketika saya
bertanya, “alasan apa yang membuat saya dapat bertahan di jurusan ini?” Lalu
dijawab oleh seorang kawan baik, “untuk ummat.”
Ini perjalanan singkat yang terasa panjang, seperti nightmare,
tapi berakhir indah. Terlalu banyak kewajiban yang saya lalaikan, termasuk
tugas akhir ini. Hingga kawan seperjuangan begitu gregetan melihat abai
saya, dan saya jadi ikut gregetan menghadapi omelannya di whatsapp.
Saya bertanya-tanya, kenapa dia sebegitu kuatnya mengurusi saya? Kenapa
mau-maunya ngerepotin diri sendiri untuk mengingatkan saya? Saya kan
jadi gak enak, kasihan dia. Lalu seseorang menegur saya, “kamu jangan mikirin
diri sendiri. Jangan kamu kira orang di sekitarmu cuma nasihatin doang
terus pergi. Orang di sekitarmu itu peduli. Jangan sia-siakan kepedulian orang
lain. Ya kalau kasihan itu kamu harusnya melakukan hal-hal yang menghilangkan
sebab kamu jadi kasihan sama dia. Kasihan itu yang benar.”
Itu teguran yang sangat makjleb bagi saya, yang
kemudian saya rasakan sendiri dua pekan terakhir ini. Setiap bertemu teman
seangkatan kita saling bertanya, saling menyemangati. Ketika saya sudah berada
di “zona aman”, saya tahu betul bagaimana teman-teman yang belum memasukinya,
dan saya merasakan hal yang sama dengan teman seperjuangan saya itu. Meski
begitu, honestly, saya sangat bersyukur ada yang ingin merepotkan
dirinya sendiri untuk menegur saya, menghubungi saya, menanya-nanyai saya,
menyindir bahkan memarahi saya. Terima kasih atas semuanya…
Tertanggal 5 Agustus, ketika saya mulai panik karena dosen
pembimbing 1 harus berangkat ke Bogor
selama satu pekan setelahnya, membersamai mahasiswa-mahasiswa Farmasi yang akan
berjuang di laga PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Sementara limit
waktu saya mempersiapkan untuk yudisium adalah dua pekan. Jika weekend
tidak dihitung, maka kurang dari dua pekan. Beliau mengabarkan hanya bisa
menguji seminar di tanggal 15 dan 16 Agustus. Okay, di tanggal 9 pengumuman
nama-nama penguji baru keluar dari persemayamannya di Bapendik Farmasi.
Walhasil, saya baru bisa lobby-lobby untuk waktu seminar di hari itu
pula. Proses yang sangat panjang dan jauh—karena saya harus mondar-mandi, jika
jarak mondar-mandir itu dihitung, saya yakin itu terbilang jauh. Hingga akhirnya di pukul 15, kami—saya dan
teman-teman yang kebetulan satu penguji—baru mendapatkan keputusan; seminar di
tanggal 11, tanpa dosen pembimbing 1. Dan Itu artinya, saya seminar esok lusa!
Such a shocking news pasti. Seorang teman
menghubungi saya segera setelah saya launching di grup kelas. Dia pikir
doa saya yang kenceng, sungguh tidak, ini pasti berkat doa orang tua,
saudara, handaitolan. Kecamuk rasanya, antara bahagia dan panik. Seolah medan perang
di depan mata, saya tidak bisa mundur. Jadilah saya mempersiapkan segalanya
tidak lebih dari 2 hari. Maka di hari H, kisah tentang HCl 37% itu hadir (baca
postingan sebelumnya yang berjudul HCl 37%). Syukur, revisian saya tidak banyak, maka
segera saya selesaikan segalanya. Tidak bisa ditunda-tunda lagi, terlalu banyak
yang ditunda, dan menunda-nunda itu akan menghasilkan akhir penuh penyesalan.
Misal saja menunda mandi.
Semua serba tanggung. Empat laboratorium yang harus disuratbebaskan
tidak dapat terpenuhi seutuhnya, karena saya masih punya tanggungan alat—yang
pecah saat praktikum dan belum saya ganti—di Laboratorium Kimia Farmasi. Selain
itu, salah satu syarat untuk bebas pustaka dari perpustakaan di fakultas adalah
menyumbang buku seharga minimal IDR 75.000. Saya memang mahasiswa Farmasi yang
aneh, karena saya hanya memiliki
buku-buku yang wajib dimiliki saja. Selain buku-buku wajib dari Universitas,
buku yang pernah diwajibkan dalam mata kuliah saja yang saya punya. Dan rasanya
sayang sekali jika ingin disumbangkan. Well, syukur sih saya masih
merasa ingin memiliki buku-buku itu. Jadilah saya memesan satu buku dari sebuah
online shop, tetapi setelah empat hari saya tunggu, transaksinya
ditolak. Itu penjualnya niat atau tidak ya jualan?
Tertanggal 19 Agustus, setelah menunggu dosen penguji satu
yang cerita tunggu-menunggunya sangat dramatis, ya, benar-benar seperti di
drama-drama. Akhirnya saya mendapatkan tanda tangannya. Maka tinggal dosen
penguji dua yang belum menandatangani form bebas revisi. Saya harus bersabar
menunggu hari Senin. Sembari menyiapkan berkas-berkas yang lain. Sembari
terkejut-kejut karena teman-teman yang seminarnya lima hari setelah saya sudah
bebas revisi lebih dulu (artinya semua pengujinya sudah menandatangani form
tersebut). Sembari mengutak-ngatik jadwal di hari Sabtu dan Minggu. Dan (masih)
sembari bermain Mahjong (nantikan tulisan berikutnya).
Tertanggal 22 Agustus, saya akhirnya bebas revisi, dan nilai
skripsi sudah bisa diunggah. Artinya, peluang saya mengikuti yudisium di
tanggal 25 pun semakin besar. Ditambah lagi alat yang sudah saya tunggu-tunggu
kehadirannya sampai juga di Kota Satria. Juga bebas pustaka di perpustakaan
pusat dan fakultas sudah terurus dengan baik. Maka, saya berniat mencetak
skripsi—bukan dengan cetakan kue pastinya—dan menjilidnya dengan hardcover
yang sudah saya pesan jauh-jauh hari. Jadilah saya terdampar di tempat print
favorit, dengan computer dan printer favorit juga. Saya mulai menelateni
lembar-lembar skripsi dari pukul 16.30 sampai 20.30. Entah mengapa kali ini
printernya rewel sekali, sesekali error, sesekali incorrect loading
apalah. Waktu ngeprint jadi semakin panjang. Di sela-sela itu, saya
mulai lapar. Hari itu saya berpuasa, berbuka tidak tepat waktu (lebih tepatnya
saya tidak menyegerakan berbuka karena sedang fokus-fokusnya) dengan milkshake
di warung sebelah. Sambil menunggu lima eksemplar lagi—empatnya sudah dalam
proses jilid—(lagi-lagi) saya bermain Mahjong.
Setelah kesembilan-sembilannya selesai, meski gerimis,
selama lembar-lembar skripsi ini aman di balik jilbab saya yang lebar, saya berlari
kecil ke seberang jalan, menuju tempat penjilidan. Tuntas sudah tugas saya hari
itu. Tinggal makan malam.
Tertanggal 23 Agustus, hari itu adalah hari terakhir
pendaftaran Yudisium. Nasib, uang saya ludes untuk ngeprint dan jilid hardcover.
Padahal ada yang perlu dibayar ketika mendaftar. Sambil menghubungi adik
laki-laki saya, berharap dia mau mengasihani kakaknya ini, teman saya
menawarkan pinjaman agar saya tidak perlu keluar-keluar kampus dulu untuk
mengambil uang. Baiklah, karena adik saya sudah menjanjikan akan mengirimkan
uang, saya terima pinjaman tersebut. Ah, adik saya benar-benar mengasihani, ia
tidak ingin uangnya diganti. Pengertian sekali dia, bahwa saya sudah menggali
lubang lebih dari dua tempat. Semoga tidak kerepotan menutupnya, ya. Dan semoga Allah lapangkan rezekimu, ya, Dik. IP semester ini di atas 3,5 deh, aamiin.
Transaksi selesai. Dan cerita panjang di waktu singkat itu
berakhir dengan senyuman.
Akhirnya, tertanggal 25 Agustus 2016, di belakang nama saya resmi
bertambah empat huruf. Tapi, itu bukan akhir dari segalanya.
Kisah perjuangan sidang skripsi beserta bumbu bumbu administrasi untuk yudisium wisuda dimanapun kampusnya, selalu melekat di sanubari ya :)
ReplyDelete