Mengapa Jadi Begini?


Jodoh memang tak disangka. Ia bisa saja amat dekat, bisa pula datang dari yang teramat jauh. Jarak dan waktunya tak terpikir. Peristiwanya tak terbayang. Wajahnya tak tergambar. Bahkan tidak sedikit yang gagal berjodoh justru menjelang pernikahannya. Maka menjelang tanggal 20, ketika tiket nobar Tausiyah Cinta tertanggal 24 Desember hampir kupegang, turunlah keputusan dari steering committee tentang sebuah daurah yang akan dilangsungkan pada tanggal 23 sampai 24 Desember 2015. Sempat aku melakukan negosiasi agar acara tersebut dimajukan, tapi tidak berhasil. Aku pasrah. Bukan karena aku tidak berjodoh (untuk dipertemukan kembali) dengannya, tapi karena aku harus memupus azzamku. Kubatalkan pesanan tiketku, dan bersiap mengikuti daurah tersebut.

Apakah soal berjodoh dengannya pernah terbersit? Jelas pernah. Kurasa kau pun paham sebagai perempuan—beda cerita jika kau lelaki. Kami, bangsa perempuan lebih banyak menggunakan perasaan, maka merasa-rasa seseorang bisa berjodoh dengan kami itu sangat mungkin. Tetapi ketika hal itu membersit, aku tertawa, mana mungkin aku berjodoh dengannya yang jauh, yang bertemu saja baru sekali, itu pun singkat, yang sudah terputus komunikasinya, yang kenal saja baru dua bulan lalu, yang kemudian tidak ada kesempatan bertemu lagi, yang nomor kontaknya sudah tidak kumiliki lagi karena ponselku ganti di bulan Desember tahun itu, yang…ya intinya sangat kecil lah kemungkinannya. 

Apakah pernah berharap berjodoh dengannya? Ah, ini sulit. Ini bagian yang paling sulit diceritakan. Tentu kita sebagai perempuan menginginkan pendamping yang terbaik, jujur saja, terbaik menurut kita. Bukan begitu? Mungkin kebanyakan dari kita (kaum perempuan) ketika bertemu dengan seorang lelaki yang baik paras dan sikapnya akan terkagum-kagum, apalagi ditambah baik agamanya, baik pekerjaannya, baik tutur katanya. Tetapi saat itu aku berada di tengah jalan, melaju meski perlahan, dan diriku terlalu enggan berbalik arah atau kembali. Aku ingin melihat adakah titik terang di ujung jalan ini, atau justru kegelapan. Maka aku bertahan. Singkatnya, di saat yang bersamaan ada seseorang yang sudah setengah jalan meminta restu orang tuaku. Aku tidak mengatakan dia tidak lebih baik daripada yang satunya. Mereka memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, dan yang satu ini lebih jelas. Maka, jika ditanya pernah berharap berjodoh dengannya atau tidak, kujawab saat itu belum.

Kembali ke persoalan nobar. Seusai acara daurah yang melelahkan, karena kami harus berjalan kaki belasan sampai puluhan kilometer, aku kembali ke kontrakanku yang kebetulan berhadapan dengan kontrakan teman baikku yang merupakan bagian dari tim promosi—atau apalah—film Tausiyah Cinta itu, ia juga seorang kader KAMMI. Beberapa hari kemudian, ketika aku sedang berkunjung ke kontrakannya, ia bertanya, “kamu masih ada komunikasi dengan Zaky?” 

“Zaky Ahmad Rivai? Enggak,” jawabku.

“Sejak kapan?” tanyanya lagi.

“Sejak November lalu. Kenapa?”

“Kemarin waktu nobar dia nanyain kamu,” jelasnya. Aku—tentu saja—terkejut, “nanyain gimana?”

“Dia nanya ke Mbak Fulanah sih, katanya ada calon peserta yang gak jadi ikut apa enggak. Anak Farmasi. Aktif di KAMMI,” terlepas cerita ini sesuai atau tidak dari sudut pandang si penanya, saat itu aku hanya sebagai pendengar, dan begitulah kurang lebih yang temanku sampaikan. Aku mengerutkan dahi. Lalu ia melanjutkan, “nah, Mbak Fulanah nanya ke aku. Tadinya aku gak ingat kamu. Tapi teringat juga, anak Farmasi yang aktif di KAMMI ya kamu, dan ternyata benar kamu.”

Ingatanku mulai mendominasi, lalu kubilang padanya, “oh, iya, waktu itu aku pernah bilang aku berazzam untuk nonton Tausiyah Cinta dengan uangku sendiri. Mungkin dia ingat, tapi aku gak datang,” temanku manggut-manggut. Pikiranku masih melayang, tapi segera kualihkan, aku tidak suka berteka-teki dengan perasaan. Dan setelah hari itu, aku disibukkan dengan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu desa di Tegal yang berlangsung selama bulan Januari sampai Februari. Aku tidak ingin memikirkan jenjang pernikahan, dan alasan terbesarnya adalah; Ayahku bersikeras aku menikah setelah lulus dan setelah kakak perempuanku menikah. Katanya, “walaupun beda sedetik, yang penting Teteh lebih dulu!” Maka ujung jalanku sudah jelas, gelap.

***

Pada awal bulan Maret, PD KAMMI Purwokerto mengadakan Daurah Marhalah (DM) II yang pesertanya berasal dari berbagai daerah. Salah satu peserta dari Kudus harus dirawat di rumah sakit karena typhus, jadilah aku bolak-balik lokasi daurah dan rumah sakit untuk menemaninya. Fortunately, belum lama aku dimasukkan ke dalam sebuah grup whatsapp yang anggotanya adalah ketua-ketua umum pengurus KAMMI seluruh Indonesia. Pastinya di dalamnya ada orang itu, Ketua Umum PK UIN Sunan Kalijaga. Setelah beberapa kali aku meminta kontak pimpinan pengurus di Kudus, dan banyak yang mengaku tidak punya, orang itu memberikan dua kontak melalui personal chat. Kuucap terima kasih, selesai. Alright, jadi ini nomor kontaknya yang beberapa bulan lalu hilang, setelah kupikir agak lama, akhirnya kusimpan juga kontaknya. Keesokan harinya, di grup instruktur Purwokerto pagi-pagi sudah ramai, obrolan mereka diawali dengan, “ada yang bisa jemput Zaky di stasiun?”

Belakangan aku baru tahu ternyata ia menjadi utusan instruktur nasional untuk mengaudit DM 2 Purwokerto. Menjelang siang aku harus kembali ke lokasi DM, dan saat itulah aku melihatnya—untuk kedua kalinya—dari kejauhan. Tidak ada tegur sapa dan tatap mata. Siang hingga sore aku pergi dari lokasi menuju Purwokerto—karena lokasi DM bertempat di Purbalingga. Dan usailah cerita hari itu. Entah ia menyadari keberadaanku atau tidak, dugaanku adalah jikalau ia melihatku, mungkin sama seperti ia melihat kader-kader Purwokerto lainnya yang tidak begitu ia kenal, atau bahkan tidak sama sekali dikenal. Aku mengangkat bahu untuk hal itu.

Di bulan yang sama, sekitar tiga hari setelah DM 2, tak disangka ia menghubungiku. Membicarakan beberapa hal, dan masih bertegur sapa sampai seminggu kemudian. Setelah itu hilang lagi. Di pertengahan bulan April, ada insiden yang mengharuskan ia menghubungiku. Ini bagian yang ingin kuhilangkan dari ceritaku, tetapi sulit, karena alasan terkuat mengapa ia menghubungiku ada pada insiden ini. Singkatnya adalah ada seorang lelaki yang mengaku teman lamaku, lalu menghubunginya untuk menanyaiku. Ini sangat aneh, di luar nalar kami. Mengapa ia bisa begitu yakin kami saling kenal sehingga ia dengan beraninya bertanya tentangku? Insiden itu akhirnya beberapa kali menjadi obrolan kami, bukan hanya sekali orang itu menghubunginya, tetapi berkali-kali. Bukan hanya melalui whatsapp, tetapi juga melalui pesan-pesan singkat. Anehnya lagi, aku tidak mengenal orang itu sebagai teman lamaku.

Di bulan Mei, setelah ia lulus dan menyemat gelar S.H.I., entah mengapa aku tergerak untuk bertanya iseng pada Ayahku. Pertanyaannya seperti ini, “Bi, misal nih, Bi, misal…ada seorang lelaki, penulis buku, pembicara yang sudah menasional, sudah sarjana, hafalan Quran kurang lebih 15 juz, ngajinya aktif. Datang menemui Abi, Abi akan bagaimana? Misal doang lho…

Ya, dari pertanyaan iseng itu kamu sudah bisa menyimpulkan, saat itu memang aku sudah mulai memikirkan, bagaimana jika aku menikah dengannya? Apakah mungkin? Dengan pertemuan yang hanya sekali? Ya dua kalilah dengan yang hanya melihat dari kejauhan itu. Tetapi aku bertanya pada Ayahku bukan karena aku merasa yakin ingin menikah dengannya, apalagi yakin bahwa dia ingin menikah denganku, hanya untuk memastikan, apa alasan utama Ayahku bersikeras menunggu kakakku menikah, padahal kakakku mempersilakanku. Dan ternyata jawabannya adalah; Dina cocok? Orang mana? Dari perguruan tinggi mana? Ada akun facebook-nya gak?

Aku tertawa, kubilang, “kan, misal, Bi….”

Kata beliau, “iya, misalnya orang mana?” membuatku semakin terpingkal.

***

Ramadhan tiba, aku sudah cukup lama tidak berkomunikasi dengannya. Aku sedang di kereta menuju Jakarta bersama adik lelakiku. Kami berniat mudik karena sudah menjelang lebaran. Di kereta, tertanggal 1 Juli 2016, seorang senior menghubungiku, menanyai alamatku. Aku bertanya untuk apa, dan ia dengan jujurnya mengatakan bahwa ada yang memintanya menanyaiku, lalu ia menyebutkan namanya. Aku terbengong-bengong menatap layar smartphone-ku, sembari jariku mengetik, “alamat apa? Alamat rumah? Alamat kontrakan? Alamat sekolah?”

Lalu, “kalau mau ngirim-ngirim paket ke kontrakanku saja.”

Antara percaya dan tidak percaya. Sambil terus menenangkan diri dengan bahasa-bahasa ngeles, “cuma mau ngirim barang kali,” atau, “paling nanya doang.” Selang beberapa waktu, aku menghubungi Ayahku. Bertanya padanya bagaimana pendapatnya jika ada yang mau bertamu ke rumah, di sela-sela pembicaraan kami, beliau malah membuatku semakin bingung, “ini ada teman Abi, orang Tangerang, anaknya ngirim biodata ke Abi, katanya buat Dina. Coba Dina lihat-lihat dulu akun facebook-nya, namanya bla bla.” Kuselesaikan obrolan kami, lalu menatap kosong jok-jok bus yang sangat padat, menuju Serang.

Mengapa jadi begini?[]

Comments

Post a Comment

Popular Posting

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita