REFUND (2)

Cerita ini belum berakhir, ketika saya sudah sangat defisit
nan terhimpit, saya menghitung ulang berapa biaya yang telah keluar dari
dompet, saku, amplop, ATM saya, dan juga pundi-pundi uang beberapa kawan untuk
memenuhi kebutuhan Seminar Hasil sampai yudisium saya. Hitungannya dimulai dari
H-2 Seminar Hasil, tertanggal 9 Agustus 2016. Secara keseluruhan, kurang lebih
saya telah menghabiskan 2.500.000 Rupiah. Bukan main! UKT (Uang Kuliah Tunggal)
saya saja sebesar 1.250.000 Rupiah, meskipun itu hasil pengajuan keringanan sebesar
75%. Tapi setidaknya pengeluaran dalam dua minggu itu berhasil melebihi
pengeluaran rutin saya dalam satu semester untuk kegiatan akademik selama tiga
tahun—karena tahun pertama UKT saya masih lima juta (tolong jangan hitung uang
makan, bensin, jajan, keperluan mandi, keperluan kesehatan, dan lain-lain).
Saya mengusap kening yang masih berjerawat. Tiga bulan terakhir memang menjadi
waktu favorit para jerawat bolak-balik hidup di kening. Mereka mencetak rekor
terlama membekas di kening ini sejak saya mulai mengenal rasanya berjerawat. Oke,
lupakan soal jerawat.
Saya agak kelimpungan, pengeluaran begitu besar, lebih besar
dari pemasukan saya. Artinya memang saya seperti membuka jasa menghutang kepada
beberapa kawan. Pikiran saya melayang-layang. Benar ternyata, ilmu itu barang
mahal, menghadapinya membutuhkan biaya besar, menuntaskannya pun begitu. Lalu,
adakah kerugian yang lebih besar daripada kisah-keluh-kesah berkenaan dengan
defisit ini? Jawabannya ada.
Inilah yang saya istilahkan dengan refund. Refund menurut
arti sebenarnya adalah pembayaran kembali; mengembalikan uang; membayar
kembali. Jika mengambil kata refundable, maka berarti bisa didanakan
kembali. It’s mean, refund is tightly related to the money.
Namun, saya memandang refund dalam hal ini bukan hanya sekadar
mengembalikan uang yang telah kita keluarkan habis-habisan, bahwa ada hal lain
yang jauh lebih besar nilainya. Sebenarnya memang lebih cocok dengan istilah recovery,
tetapi saya terinspirasi dari Tuan Krab yang sangat ketakutan mendengar kata refund
yang diteriakkan oleh para pelanggannya. Seakan fund adalah sesuatu yang
paling berharga bagi Tuan Krab, dan ia tak ingin kehilangannya—dan memang
begitu adanya.
Fund memang sangat berharga. Semua mahasiswa tahu
betul, memulai menuntut ilmu (btw, ilmu salah apa ya, kok sampai harus
dituntut?) butuh banyak uang. Bayangkan, kita mau mengeruk ilmu dari para dosen
yang bertahun-tahun belajar, bahkan dengan semangat perjuangan mereka menuntut
ilmu sampai ke negeri China, eh sampai ke luar negeri. Bolehlah kita berpikir,
“ya, mungkin mereka kuliah di luar negeri pakai beasiswa,” well, berapa
banyak yang berbeasiswa itu? Lagipula
ada yang tidak terbayar dari segalanya, yaitu waktu dan semangat mereka. Jadi,
rasanya naïf sekali jika kita ingin mendapatkan ilmu mereka secara cuma-cuma.
Belum lagi ketika mereka (re: para dosen pembimbing akademik) yang baik hati
itu dengan telatennya memperjuangkan kelulusan kita. Ah, kita mesti bayar mahal
untuk semua itu. Terlepas dari pendidikan adalah hak seluruh warga Negara, kita
yang berkecukupan harus paham kondisinya. Kondisi bahwa masih banyak warga
Negara yang belum mendapatkan haknya.
Nah, semua mahasiswa lagi-lagi tahu betul, bahwa untuk
mendapatkan cetak fisik ijazah juga tidak main-main. Tidak sedikit yang
berstatus “defisit banget” setelah lulus, seperti saya. Di samping banyak
sekali persyaratan untuk mendapatkan predikat kelulusan tersebut, setiap
persyaratan pun memiliki budget. Sampai-sampai kita perlu mengurut
dada—dan juga perut—untuk melunasinya. Jika dihitung dari memulai hingga
mengakhirinya, sungguh banyak pengeluaran kita untuk mendapatkan ilmu yang kini
ada di kepala kita—atau mungkin sudah di luar kepala? Maka, kita sebagai kaum
intelek harus menyadari betapa mahal ilmu itu. Dari situ pahamlah kita bahwa
hakikat refund bagi kita sebagai sarjana dan alumni bukan hanya sekadar
harta. Yah, rugi banget deh kalau orientasi rencana jangka panjangnya cuma
balik modal. Sungguh, rugi.
Lalu apa? Menurut hemat saya, mari kembali kita mengingat hadits
Rasuulillah Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang berbunyi, khayru an-naas
anfa’uhum li an-naas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
bagi manusia lainnya). Seharusnya yang kita kejar di dunia adalah kehidupan
yang dapat membawa kita kepada kehidupan yang paling baik di akhirat dengan
menjadi “sebaik-baik manusia”. Segala hal yang bersifat materi tidak akan
dibawa mati, tetapi segala hal yang berkaitan dengan materi itu akan
dipertanggungjawabkan. Itu mengapa saya katakan rugi jika orientasi kita
setelah lulus hanyalah materi, terlalu pendek akal. Seakan kita lupa bahwa ada
Maha Pengatur Rezeki, yang mana kita tidak akan dipertemukan dengan kematian
jika rezeki kita belum disempurnakan di dunia. So, rezeki akan mengikuti
selama yang kita kejar adalah ridha Allah.
Dalam hal ini, setelah menempuh waktu dan perjuangan yang
panjang dalam perkuliahan, berakhirlah kita pada suatu kesimpulan yang amat
sederhana; penyematan gelar sarjana. Dengan gelar tersebut, setidaknya kita
dapat hidup lebih manusiawi di dunia. Kita jadi lebih mudah mencari pekerjaan
jika sudah bergelar sarjana, kita jadi lebih dipandang, lebih didengar, lebih
dipertimbangkan. Ya, terlepas dari kemampuan kita dalam bidang tersebut. Karena
sangat mungkin “seorang sarjana tidak layak disebut sarjana”, itu kata Dekan
saya ketika sambutan di prosesi Yudisium. Ya, sekalipun IPK (Indeks Prestasi
Kumulatif) menunjukkan nilai yang amat baik, kelayakan itu tidak serta merta
nampak, bisa jadi terungkap setelah bertahun-tahun bekerja. Intinya, gelar—yang
kita perjuangkan selama lebih dari tiga tahun—akan menyelamatkan kita dalam
berbagai persoalan hidup, terutama persoalan ekonomi.
Maka, mengejar kelayakan hidup di dunia dengan bekerja dan
menghasilkan uang adalah hal lumrah. Tinggal main goal-nya yang diubah.
Harus ada unsur lain di dalam master plan kita. Bukan, bukan unsur
tanah, air, api, atau angin yang dapat dikendalikan dalam serial kartun The
Legend of Aang. Tapi unsur AMAL. Amal sebagaimana tercantum dalam Al Quran
surat Al ‘Ashr, …wa ‘amiluu ash-shaalihaati wa tawaashau bi al-haqqi wa
tawaashau bi ash-shabri (…dan beramal shalihlah, dan nasihat-menasihatilah dengan
kebenaran dan kesabaran)—niscaya tidak akan merugi. Amal inilah yang harus
senantiasa hadir dalam aktivitas kita. Sehingga dalam memperoleh rezeki, kita
terhindar dari hal-hal yang merusak rezeki itu sendiri, bahkan aktivitas kita
dinilai ibadah, yang mana akan menjadi investasi besar dan kelak akan kita
tukar dengan nikmat yang tak terbayangkan sebelumnya. Bagaimana tidak,
pekerjaan kita berorientasi ukhrawi, kita senantiasa berdoa untuk
dihindarkan dari tamak dan sombong. Cara kita dalam menjemput rezeki Allah
adalah cara yang halal dan diridhai Allah. Jika Allah sudah ridha, apalagi yang
menghalangi kita dari surga-Nya?
Itulah refund sebenarnya. Ilmu kita boleh banyak,
tapi apakah ia bermanfaat? Gelar kita boleh tersemat, tapi apakah ia memberi
maslahat? Dengan beramal shalih, kita takkan rugi dunia akhirat. Jadi,
kembali ke pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini, apakah saya harus menjadi
pemangku kebijakan? Apakah saya harus menciptakan lapangan pekerjaan? Atau
apakah saya harus membuat sebuah penemuan besar? Atau apakah saya harus
memiliki omset besar? Honestly, saya ingin keempatnya, tapi bukankah itu
terlalu rakus? Well, apapun itu, yang terpenting adalah niatkan untuk
beramal shalih, berusaha dan berdoa agar apapun yang kita lakukan
bermanfaat bagi orang lain, bagi agama, bagi bangsa, bagi Negara. Lalu bagaimana
dengan saya? Pastinya untuk menggenggam kewenangan secara utuh, saya harus
bersekolah profesi terlebih dahulu (Oke, ini juga bukan main anggarannya). Setelahnya, saya berpikir untuk mengabdikan
diri di Badan POM (Penjaminan Obat dan Makanan). Karena seorang apoteker pasti
memiliki kemampuan dalam pelayanan kesehatan, tetapi tidak semua ingin berkecimpung
dalam lembaga pemerintahan (dalam hal ini, Badan POM adalah Lembaga
Pemerintahan Non Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden). Bagaimana
menurutmu?
Anyway, di manapun nanti Allah menakdirkan kita
menetap dan bekerja, maka di sanalah ladang amal kita, di sanalah kita
bertanggung jawab penuh untuk berdakwah, di sanalah Allah ingin ruang dan waktu
yang kita lalui menjadi sangat bernilai, dan di sanalah tempat kita me-refund
semua yang telah kita korbankan sebelumnya. Semoga Allah meridhai dan memberkahi setiap
aktivitas kita.
Comments
Post a Comment