REFUND (2)

Saya tidak secepat itu memahami makna “untuk ummat” yang empat tahun lalu disarankan sebagai jawaban oleh kawan baik saya ketika saya bertanya tentang tujuan berkuliah. Sampai beberapa tahun kemudian saya masih memikirkannya, hingga saya menemukan banyak hal tentang keummatan di sebuah organisasi yang saya ikuti. Kurang lebih keummatan ini tentang pengabdian, kebermanfaatan, kemaslahatan, kontribusi. Lalu bagaimana saya mengimplementasikan jawaban—yang sudah melekat pada sebuah cita—tersebut dalam realita? Apakah saya harus menjadi pemangku kebijakan? Apakah saya harus menciptakan lapangan pekerjaan? Atau apakah saya harus membuat sebuah penemuan besar? Atau apakah saya harus memiliki omset besar? Sebelum itu, mari mundur sejenak…


Cerita ini belum berakhir, ketika saya sudah sangat defisit nan terhimpit, saya menghitung ulang berapa biaya yang telah keluar dari dompet, saku, amplop, ATM saya, dan juga pundi-pundi uang beberapa kawan untuk memenuhi kebutuhan Seminar Hasil sampai yudisium saya. Hitungannya dimulai dari H-2 Seminar Hasil, tertanggal 9 Agustus 2016. Secara keseluruhan, kurang lebih saya telah menghabiskan 2.500.000 Rupiah. Bukan main! UKT (Uang Kuliah Tunggal) saya saja sebesar 1.250.000 Rupiah, meskipun itu hasil pengajuan keringanan sebesar 75%. Tapi setidaknya pengeluaran dalam dua minggu itu berhasil melebihi pengeluaran rutin saya dalam satu semester untuk kegiatan akademik selama tiga tahun—karena tahun pertama UKT saya masih lima juta (tolong jangan hitung uang makan, bensin, jajan, keperluan mandi, keperluan kesehatan, dan lain-lain). Saya mengusap kening yang masih berjerawat. Tiga bulan terakhir memang menjadi waktu favorit para jerawat bolak-balik hidup di kening. Mereka mencetak rekor terlama membekas di kening ini sejak saya mulai mengenal rasanya berjerawat. Oke, lupakan soal jerawat.

Saya agak kelimpungan, pengeluaran begitu besar, lebih besar dari pemasukan saya. Artinya memang saya seperti membuka jasa menghutang kepada beberapa kawan. Pikiran saya melayang-layang. Benar ternyata, ilmu itu barang mahal, menghadapinya membutuhkan biaya besar, menuntaskannya pun begitu. Lalu, adakah kerugian yang lebih besar daripada kisah-keluh-kesah berkenaan dengan defisit ini? Jawabannya ada.

Inilah yang saya istilahkan dengan refund. Refund menurut arti sebenarnya adalah pembayaran kembali; mengembalikan uang; membayar kembali. Jika mengambil kata refundable, maka berarti bisa didanakan kembali. It’s mean, refund is tightly related to the money. Namun, saya memandang refund dalam hal ini bukan hanya sekadar mengembalikan uang yang telah kita keluarkan habis-habisan, bahwa ada hal lain yang jauh lebih besar nilainya. Sebenarnya memang lebih cocok dengan istilah recovery, tetapi saya terinspirasi dari Tuan Krab yang sangat ketakutan mendengar kata refund yang diteriakkan oleh para pelanggannya. Seakan fund adalah sesuatu yang paling berharga bagi Tuan Krab, dan ia tak ingin kehilangannya—dan memang begitu adanya.

Fund memang sangat berharga. Semua mahasiswa tahu betul, memulai menuntut ilmu (btw, ilmu salah apa ya, kok sampai harus dituntut?) butuh banyak uang. Bayangkan, kita mau mengeruk ilmu dari para dosen yang bertahun-tahun belajar, bahkan dengan semangat perjuangan mereka menuntut ilmu sampai ke negeri China, eh sampai ke luar negeri. Bolehlah kita berpikir, “ya, mungkin mereka kuliah di luar negeri pakai beasiswa,” well, berapa banyak yang berbeasiswa itu?  Lagipula ada yang tidak terbayar dari segalanya, yaitu waktu dan semangat mereka. Jadi, rasanya naïf sekali jika kita ingin mendapatkan ilmu mereka secara cuma-cuma. Belum lagi ketika mereka (re: para dosen pembimbing akademik) yang baik hati itu dengan telatennya memperjuangkan kelulusan kita. Ah, kita mesti bayar mahal untuk semua itu. Terlepas dari pendidikan adalah hak seluruh warga Negara, kita yang berkecukupan harus paham kondisinya. Kondisi bahwa masih banyak warga Negara yang belum mendapatkan haknya.

Nah, semua mahasiswa lagi-lagi tahu betul, bahwa untuk mendapatkan cetak fisik ijazah juga tidak main-main. Tidak sedikit yang berstatus “defisit banget” setelah lulus, seperti saya. Di samping banyak sekali persyaratan untuk mendapatkan predikat kelulusan tersebut, setiap persyaratan pun memiliki budget. Sampai-sampai kita perlu mengurut dada—dan juga perut—untuk melunasinya. Jika dihitung dari memulai hingga mengakhirinya, sungguh banyak pengeluaran kita untuk mendapatkan ilmu yang kini ada di kepala kita—atau mungkin sudah di luar kepala? Maka, kita sebagai kaum intelek harus menyadari betapa mahal ilmu itu. Dari situ pahamlah kita bahwa hakikat refund bagi kita sebagai sarjana dan alumni bukan hanya sekadar harta. Yah, rugi banget deh kalau orientasi rencana jangka panjangnya cuma balik modal. Sungguh, rugi.

Lalu apa? Menurut hemat saya, mari kembali kita mengingat hadits Rasuulillah Shallallahu ‘alayhi wa sallam yang berbunyi, khayru an-naas anfa’uhum li an-naas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya). Seharusnya yang kita kejar di dunia adalah kehidupan yang dapat membawa kita kepada kehidupan yang paling baik di akhirat dengan menjadi “sebaik-baik manusia”. Segala hal yang bersifat materi tidak akan dibawa mati, tetapi segala hal yang berkaitan dengan materi itu akan dipertanggungjawabkan. Itu mengapa saya katakan rugi jika orientasi kita setelah lulus hanyalah materi, terlalu pendek akal. Seakan kita lupa bahwa ada Maha Pengatur Rezeki, yang mana kita tidak akan dipertemukan dengan kematian jika rezeki kita belum disempurnakan di dunia. So, rezeki akan mengikuti selama yang kita kejar adalah ridha Allah.

Dalam hal ini, setelah menempuh waktu dan perjuangan yang panjang dalam perkuliahan, berakhirlah kita pada suatu kesimpulan yang amat sederhana; penyematan gelar sarjana. Dengan gelar tersebut, setidaknya kita dapat hidup lebih manusiawi di dunia. Kita jadi lebih mudah mencari pekerjaan jika sudah bergelar sarjana, kita jadi lebih dipandang, lebih didengar, lebih dipertimbangkan. Ya, terlepas dari kemampuan kita dalam bidang tersebut. Karena sangat mungkin “seorang sarjana tidak layak disebut sarjana”, itu kata Dekan saya ketika sambutan di prosesi Yudisium. Ya, sekalipun IPK (Indeks Prestasi Kumulatif) menunjukkan nilai yang amat baik, kelayakan itu tidak serta merta nampak, bisa jadi terungkap setelah bertahun-tahun bekerja. Intinya, gelar—yang kita perjuangkan selama lebih dari tiga tahun—akan menyelamatkan kita dalam berbagai persoalan hidup, terutama persoalan ekonomi.

Maka, mengejar kelayakan hidup di dunia dengan bekerja dan menghasilkan uang adalah hal lumrah. Tinggal main goal-nya yang diubah. Harus ada unsur lain di dalam master plan kita. Bukan, bukan unsur tanah, air, api, atau angin yang dapat dikendalikan dalam serial kartun The Legend of Aang. Tapi unsur AMAL. Amal sebagaimana tercantum dalam Al Quran surat Al ‘Ashr, …wa ‘amiluu ash-shaalihaati wa tawaashau bi al-haqqi wa tawaashau bi ash-shabri (…dan beramal shalihlah, dan nasihat-menasihatilah dengan kebenaran dan kesabaran)—niscaya tidak akan merugi. Amal inilah yang harus senantiasa hadir dalam aktivitas kita. Sehingga dalam memperoleh rezeki, kita terhindar dari hal-hal yang merusak rezeki itu sendiri, bahkan aktivitas kita dinilai ibadah, yang mana akan menjadi investasi besar dan kelak akan kita tukar dengan nikmat yang tak terbayangkan sebelumnya. Bagaimana tidak, pekerjaan kita berorientasi ukhrawi, kita senantiasa berdoa untuk dihindarkan dari tamak dan sombong. Cara kita dalam menjemput rezeki Allah adalah cara yang halal dan diridhai Allah. Jika Allah sudah ridha, apalagi yang menghalangi kita dari surga-Nya?

Itulah refund sebenarnya. Ilmu kita boleh banyak, tapi apakah ia bermanfaat? Gelar kita boleh tersemat, tapi apakah ia memberi maslahat? Dengan beramal shalih, kita takkan rugi dunia akhirat. Jadi, kembali ke pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan ini, apakah saya harus menjadi pemangku kebijakan? Apakah saya harus menciptakan lapangan pekerjaan? Atau apakah saya harus membuat sebuah penemuan besar? Atau apakah saya harus memiliki omset besar? Honestly, saya ingin keempatnya, tapi bukankah itu terlalu rakus? Well, apapun itu, yang terpenting adalah niatkan untuk beramal shalih, berusaha dan berdoa agar apapun yang kita lakukan bermanfaat bagi orang lain, bagi agama, bagi bangsa, bagi Negara. Lalu bagaimana dengan saya? Pastinya untuk menggenggam kewenangan secara utuh, saya harus bersekolah profesi terlebih dahulu (Oke, ini juga bukan main anggarannya). Setelahnya, saya berpikir untuk mengabdikan diri di Badan POM (Penjaminan Obat dan Makanan). Karena seorang apoteker pasti memiliki kemampuan dalam pelayanan kesehatan, tetapi tidak semua ingin berkecimpung dalam lembaga pemerintahan (dalam hal ini, Badan POM adalah Lembaga Pemerintahan Non Departemen yang bertanggung jawab langsung kepada presiden). Bagaimana menurutmu?

Anyway, di manapun nanti Allah menakdirkan kita menetap dan bekerja, maka di sanalah ladang amal kita, di sanalah kita bertanggung jawab penuh untuk berdakwah, di sanalah Allah ingin ruang dan waktu yang kita lalui menjadi sangat bernilai, dan di sanalah tempat kita me-refund semua yang telah kita korbankan sebelumnya. Semoga Allah meridhai dan memberkahi setiap aktivitas kita.

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

Benda Asing di antara Kita