Sebuah Kisah | Bidadari, Seorang Pemimpi Nan Indah I

BismiLLahirRahmanirRahim…

Kisah ini merupakan “true story” dari seorang hamba Allah, yang cukup ambil hikmahnya, dan tak perlu bertanya-tanya :)

Sore itu saya merenungi ni’mat Allah. Ketika kemudian saya tersadar betapa banyak ni’mat Allah yang saya sia-siakan. Terlebih ketika teringat masa lalu……

Enam tahun silam, dengan bangganya saya mulai menyelami lautan ilmu di Pesantren yang sampai sekarang jiwa saya masih terpaut di sana, di asrama-asramanya, Khadijah, Aisyah, Shafiyah, Zainab, Hafshah, Saudah, Fatimah Az Zahra, dan Ummu Salamah. Sejauh ini hanya asrama-asrama itu yang terkenang di ingatan saya, entah untuk tambahan-tambahannya kini. Ya, saya memulai rutinitas yang sangat sangat sangat saya rindukan sekarang ini. Betapa tidak, fasilitas yang begitu memadai, tahfidz Qur’an, tahsin Qur’an, khithabah, berbahasa inggris dan arab, mufradat, muhadatsah, mukhayyam, hingga kegiatan keilmuan baik eksak maupun sosial apapun. Bekal yang banyak lagi baik untuk kemudian hari.

Ah, bukan, saya tidak akan menceritakan kehidupan saya, mungkin sedikit sebagai gambaran, tapi yang akan saya ceritakan adalah kehidupan sesorang, yang kisah tentangnya mungkin tidak habis meski dengan 500 halaman portofolio.

Sebut saja dia Haura. Ketika itu, di awal kehadiran saya dan kehadirannya dalam angkatan yang sama, saya mengawali pagi di kelompok tahfidz, sedangkan ia di kelompok tahsinnya, mengingat saya adalah jebolan IT (Islam Terpadu) yang telah dibekali ilmu tahsin dan hafalan tahfidz hampir 2 juz. Sedangkan ia, entahlah, pernah saya dengar ia berkata, “satu hal yang ane takutkan ketika daftar tes di sekolah ini adalah, tes tahsinnya, hanya itu.” Dan belakangan saya tahu apa sebabnya.

Hari-hari begitu menyenangkan, meski saya tidak kenal dekat dengan si Haura ini. Saya, mencoba tes masuk takhosus di tahun kedua. Apa itu takhosus? Yaitu kelompok tahfidz khusus yang memiliki target hafalan lebih banyak dari kelompok lain. Yang harus menyetorkan hafalan setiap harinya minimal satu halaman. Berat? Jujur, saat itu saya tidak merasa keberatan sama sekali. Allah menganugerahi akal yang jernih bagi saya, saat itu. Dan kemudian saya dengan mudah melupakan esensi muraja’ah, dan menyepelekan banyak hal. Bahkan sering kali saya baru benar-benar menghafalkan bahan setoran beberapa menit sebelum dipanggil oleh ustadz penguji. Dan sukses. Sungguh, sebeneranya, jika saya menyadari itu, sesungguhnya itu adalah ujian dari Allah, ujian, dan saya tidak menyadarinya. Selamat! Allahummaghfirliy…

Betul-betul jernih, karena umi dan abi mengajari banyak hal, membatasi dengan batas optimal, sangat efektif bagi saya. Sehingga tidak mudah saya dipengaruhi oleh godaan-godaan “menyenangkan” di pesantren. I think, you’ve known it. Bahkan sekedar bolos berjama’ah di masjid, saya seperti merasa berdosa, dan saya syukuri adanya perasaan itu. Karena segala kemudahan, dan anugerah Allah, saya pun dengan mudah menghafal jenis-jenis khithabah, sering menjuarai lomba khithabah (tentunya pakai bahasa arab), dengan mudah memahami pelajaran keagamaan, terutama Bahasa Arab. Sampai detik ini, saya syukuri itu pernah terjadi pada diri saya, juga saya sayangkan karena adanya kata “pernah” di sana.

Lalu bagaimana dengan Haura? Ya, dia tetap berjuang di kelompok tahsinnya, otaknya yang encer, mudah sekali meraih ranking terdepan di kelas, dan insya Allah dia sudah bermanfaat bagi siapapun, karena kemurahan hatinya dalam mengajarkan bahan ujian bagi teman-teman. Sampai saat itu saya tidak begitu dekat dengannya, hanya mungkin karena kita pernah sekelas, dan satu halaqah. Hingga kemudian di tahun ketiga, ketika saya melepas kelompok takhosus, dia justru terjun di dalamnya. Tumbuh, berkembang, bermekaran, dan selalu, semakin indah. Ya, sangat indah, karena akal dan hatinya sempurna terisi, sempurna terlindungi oleh ayat-ayat Allah.

Meski kemudian, ketika wisuda SMP, saya tahu hafalannya masih di bawah saya. Masih, teman, masih…

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita