Sebuah Kisah | Bidadari, Seorang Pemimpi Nan Indah II

Menginjak tahun keempat, dengan “teman” baru, asrama baru, dan tentunya “semangat” baru. Di sana ada tanda kutip, maka pahamilah..

Ada memori yang hilang di atas sini, entah cara bersyukur kepada Allah, atau cara memanfaatkan peluang, yang pasti saya kehilangan momentum.

Berbicara soal momentum, ada yang ahli di bidang ini, Haura. Ya, dia seorang visioner, selalu melihat kedepan. Ibarat berjalan di dalam lorong gelap, ia buat sinar itu datang dari arah belakang, sehingga jelas sudah apa yang ada di hadapannya. Haura adalah seorang pemimpi, yang juga seorang pemimpin. Haura adalah seorang petarung, yang kemudian amunisi pertarungan ia cari yang sebaik mungkin, yang mampu memecahkan tembok halangan sebesar apapun, sekuat apapun. Saya saksi hidup melihat kegigihannya, dan tiada kata selain, “subhanaLLah, wa laa haula wa laa quwwata illa biLLah..” Sesungguhnya, setiap kejadian merupakan serangkaian skenario Allah, sebagaimana takdir berada di tangan Allah, siapapun yang ingin menjemput takdir baiknya, maka usaha yang minimalis tidak akan membawanya pada takdir itu. Allah mengajarkan, terutama pada saya, bahwa atas usaha saya, hanya mengandalkan usaha saya, apalagi ditambah sesuatu yang Allah benci disebut “riya”, tidaklah membawa kebaikan sama sekali. Saya hanya menonton kemenangan orang lain, dan tidak merasa perlu memerankannya. Ini yang berbahaya, karena sesuatu yang disebut “kehidupan statis”. Semacam stuck in the moment. Allahummaghfirliy…

Di tengah peliknya kehidupan, Allah kembali memberikan secercah cahaya. Saya menjadi salah satu orang terpandang di dalam organisasi pada tahun kelima, dan begitu juga Haura. Allah mengirimnya, sebagai penegur, sebagai penasihat, sekaligus sahabat (terbaik) di setiap inchi kehidupan saya sejak itu. Saya berteman (sangat) baik dengannya, kami menjadi pelopor marbot (pengurus masjid), dimana tempat tidur kami berpindah ke dalam rumah Allah di pesantren itu. Sedikit gambaran seorang marbot, senantiasa mengingatkan waktu shalat, memanggil sekaligus bel sekaligu alarm di setiap waktu shalat, menjaga kondisi masjid selalu dalam keadaan kondusif, dan kegiatan ke-masjid-an lainnya. Perlu saya tekankan, menjadi seorang marbot perlu ruhiyah yang terjaga, dan penjagaan itu datang dari jabatan saya, juga dari sahabat saya, Haura.

Saya punya cita-cita dan harapan, seperti yang orang-orang cita-citakan, dan begitu juga Haura. Hafidz Qur’an. Ada alasan lain dibalik semangat saya di tahun-tahun terakhir itu, tapi mohon maaf tidak akan saya bahas di sini. Saya mencoba kembali menghafalkan ayat demi ayat Allah, namun tak semudah itu, tak semudah ketika hati dan akal ini terasa jernih. Bahkan saya telah melupakan cara-cara berkhuthbah, meski kemudian Haura menjadikan saya pembimbing khithabahnya di suatu kesempatan mengikuti perlombaan. Oke, saya bisa berkomentar, tapi saya tidak bisa melakukannya (kembali). Pemahamannya akan bilingual, Arab dan Inggris, membawanya menuju kesuksesan-kesuksesan lainnya. Meski saya masih belum paham mengapa dia mengucapkan terima kasihnya ketika ia memenangkan juara dua di lomba khithabah itu. Padahal saya hanya sedikit memberikan komentar ketika ia berlatih. Itu saja..

Haura terjun bebas. Sejauh pengetahuan dan pemantauan saya, jumlah hafalan kami tidak terpaut jauh. Namun, di suatu libur panjang, ia menceritakan niatnya mengisi liburan di sebuah Pesantren Qur’an. Ia meminta pemantauan dari saya, meminta nasihat, meminta teguran. Saya lakukan, meski ada yang bergejolak di sini. Ada keinginan di hati ini, keinginan yang tak jua tersampaikan hingga saya menjadi lulusan pesantren itu. Entah mengapa saya tak berani menyuarakannya, mungkin, karena takut melanggar, atau ingkar. Nasihat demi nasihat saya berikan, yang kadang nasihat itu menyentil hati saya sendiri. Hingga berakhirnya liburan…

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita