Sebuah Kisah | Bidadari, Seorang Pemimpi Nan Indah III


Melepas rindu, meski senang sekali rasanya satu bulan di rumah, tidak terkekang oleh aturan-aturan Pesantren. Tetapi selalu ada yang kurang, sahabat, membuat kesenangan itu luntur. Terlalu lama rasanya satu bulan meninggalkan “rumah” baru kami. Maka ketika satu bulan itu berakhir, sungguh segala cerita siap kami tumpahkan, bertemu sahabat dengan hebohnya, mendengar dan bercerita pun dengan hebohnya, tanpa kenal waktu, hingga larut malam, itulah kami.

Saya teringat, liburan itu spesial, saya punya perjanjian dengan Haura. Entah saat itu ia berhasil menghafal berapa juz dalam Al-Qur’an setelah selama dua pekan di Pesantren Qur’an. Dan saya tidak bertanya. Dan dia pula tidak bercerita. Dia hanya menceritakan beberapa hal mengenai kehidupan di pesantren tersebut, beserta staf-staf pengajarnya. Meski hati ini bertanya-tanya, “lalu berapa yang kamu raih selama dua pekan itu? Lima juz? Sepuluh juz? 20 juz?” Tetap, tak ada jawaban, karena pertanyaan itu hanya saya utarakan dalam hati.

Bulan itu Bulan Desember, tepatnya pekan-pekan setoran akhir. Khusus bagi siswa SMP dan SMA yang duduk di tahun terakhirnya, pada bulan itu diberikan waktu selama satu pekan untuk menyetorkan seluruh hafalannya, atau setidaknya setoran wajibnya (SMP dua juz, dan SMA 5 juz).

Senang rasanya, di asrama hanya terdengar suara-suara muraja’ah dari seluruh penghuni. Senang rasanya, melihat di pojok-pojok asrama, di bawah pepohonan, di teras-teras, bahkan di jemuran, selalu bertemu teman-teman dengan mushaf mereka, menghafal dengan penuh semangat. Saya pun semakin bersemangat. Apalagi mendengar salah satu teman saya, di hari pertama setoran berhasil menyetorkan dua juz, mumtaz, tanpa cacat sedikit pun. Tekad saya, harus dapat menyamainya!

Hello, saya tidak mendengar perihal Haura sama sekali, ia asyik menghafal di masjid, atau sekitarnya. Dan saya tidak merasa perlu menemuinya, karena saya dan dia memiliki kesibukan yang sama.

Hingga pekan itu berakhir, saya hanya menyelesaikan setoran wajib, tanpa juz tambahan. Entahlah, apakah terlalu menyepelekan, apakah belum siap, atau ingin fokus pada kelulusan akademik. Entahlah. Yang pasti, saya baru tahu kabar itu. Ya, kabar tentang Haura. Kabar yang saya nantikan. Dapat berapa juz? Tiga puluh juz jawabannya. Dan saya baru mendengar kabar itu setelah beberapa bulan ia menyelesaikan hafalannya. Artinya, asumsikan sebelum dua pekan menempuh perjalanan di Pesantren Qur’an ia berhasil mendapat delapan juz atau sembilan juz, jika kemudian dua pekan itu berakhir dan selesai 30 juz, berarti selama dua pekan ia dapat menghafal sekitar 21 sampai 22 juz. Itu gebrakan, oke, bukan, itu tamparan bagi saya. Ya Allah…beginikah caranya kau membangunkanku dari tidur panjangku?

Saya hanya terdiam, bersyukur perlahan.

Wahai sahabat, kau berhasil, mimpimu, mimpi yang juga kuinginkan, mimpi yang juga semua orang impikan, kini telah kau genggam. Maka kuyakin, mimpi-mimpimu yang lain, yang bagaikan pendaran bintang di langit, kuyakin, kau mampu meraihnya, seluruhnya. Allahu yubarik… Semoga Allah bukakan pula bagi kami jalan-jalan menuju mimpi itu. Sungguh, semangatmu menular. Ya, menular sampai ubun-ubunku. Begitulah umpamanya berteman dengan si tukang minyak wangi...

Wahai sahabat, apakah yang membawamu begitu menginginkan gelar hafizhah? Mengapa semangatmu begitu besarnya, bagaikan halangan sebesar gunung uhud pun dapat kau taklukkan? Apakah begitu besar cintamu terhadap Allah, Tuhan kita? Atau justru begitu kecilnya rasa cintaku ini....? Allahu...sungguh aku telah zhalim kepada hati ini, dimana haknya tidak kupenuhi. Ya, hak dipenuhi oleh cinta kepada Sang Maha Cinta. Allahu...ampuni hamba.....

Saya termenung, terlalu lama, hingga menangis.

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita