Sebuah Kisah | Bidadari, Seorang Pemimpi Nan Indah IV


Menjelang UN, saya sedikit bingung, atau gaulnya ‘galau’. Karena saya harus segera mendaftar SNMPTN undangan (saat itu masih ada SNMPTN jalur tulis). Dan saya hampir putus asa karena keinginan saya tidak dapat diterima. Abi menginginkan saya melanjutkan di bidang kesehatan, dan saya sedikit merasa keberatan karena saya lemah dalam menghafal pelajaran, atau dengan kata lain, saya lebih senang hitung-hitungan. Kalau boleh saya ceritakan, nilai Biologi saya jarang sekali mendapat bagus. Kemudian kegalauan itu saya utarakan pada Haura, sahabat saya yang telah hafidz Qur’an, dan pastinya ia memberikan banyak masukan, menghubungkan segala sebab-akibat, dan yang terakhir memberikan nasihat-nasihat yang mengubah pola pikir saya, sampai saat ini. Saya masih ingat betul kata-katanya yang kemudian membuat ghirah itu muncul, yang kemudian saya berani mengambil tantangan besar dalam hidup saya, yang kemudian saya berani melawan gradiensi yang bertolak belakang sama sekali dan tidak pernah terpikirkan oleh saya;

“Begini, ane secara pribadi, kalau mau menetapkan sesuatu, apalagi yang akan mengubah masa depan kita, atau setidaknya membawa kita beberapa tahun kedepan, atau mungkin hanya beberapa bulan kedepan, atau bahkan hanya beberapa hari kedepan, yang pertama ane pikirkan adalah, BAGAIMANA CARANYA AGAR APA-APA YANG KITA RENCANAKAN AKAN MEMBAWA KEBAIKAN UNTUK UMMAT. Jadi yang ente tuju pertama kali adalah ummat, bagaimana nasib ummat ini di tangan saya. Begitu kira-kira..”

Kata Haura dengan senyum khasnya di akhir. Saya terdiam, hanya menatap kosong. Ya,jujur, saya menatap kosong ke arah jendela angkot, dan mengangguk pelan. “Begitu, ya…” Ah, bodoh sekali diri ini, jelas tidak pernah menemukan kejelasan hidup, tujuannya pun belum terpikirkan. Yang saya pikirkan selama ini adalah, bagaimana masa depan saya, hidup saya setelah kuliah, membahagiakan umi dan abi, dan segala tetek bengek kehidupan di dunia. Tidak, jujur, tidak memikirkan ummat sama sekali. Dan Haura mengubah konsep ini, pola piker ini, menjadi sesuatu yang lebih bermakna, jauh lebih berguna.

Lalu obrolan berlanjut, ia menceritakan semua harapannya. Dimana dengan gelar dokternya, akan ia dedikasikan hidupnya untuk ummat. Mengembalikan hakikat seorang manusia, dengan manusia lainnya, juga dengan Sang Khaliq. Saat itu, saya melihat kesungguhan dari matanya, kemudian merasuki akal dan hati saya. Dalam hati saya berkata, “apapun yang kau inginkan, akan Allah berikan dengan izin Allah. Saya percaya.”

Obrolan itu membuahkan banyak hasil. Saya mengambil langkah besar dalam hidup saya, dan saya tahu resikonya. Fix saya akan mengambil Jurusan Farmasi dengan segala pertimbangan. Dari perbincangan itu, saya dapat mengambil kesimpulan, betapapun beratnya hidup yang kita jalani, jika niat ini sudah terpatri untuk ummat, insya Allah akan berdampak besar nan positif. Betapapun saya terlunta-lunta, babak belur mengarungi hidup dengan sesuatu yang tidak saya sukai, jika niat ini ditujukan pada ummat, insya Allah akan datang kemudahan, akan membawa kebaikan. Dan yang paling penting adalah, ridha Allah, ridha orangtua. Karena niat yang ditujukan pada ummat di sini adalah, kebaikan ummat itu sendiri. Kembali pada hakikat penciptaan manusia, bahwa diciptakannya manusia untuk dua sebab. Yang pertama untuk beribadah kepada Allah, yang kedua untuk menjadi khalifah di muka bumi. Betul begitu? Bukan yang membawa kerusakan di muka bumi ini. Namun realitanya..? Tanyakan pada alam, tanyakan pada lingkungan sekitar, tanyakan pada dunia. Bahwa dunia memang membutuhkan manusia-manusia pembaharu, manusia-manusia yang senantiasa mengajak pada kebaikan, dan menolak kemunkaran. Di sinilah kemudian saya menemukan banyak kemaslahatan dalam jurusan ini. Meski saya akan menemukan hal yang serupa di jurusan yang lain. Tetapi, ridha Allah adalah ridha orangtua. Maka saya ambil tantangan besar ini.

Saya selalu mencantumkan Farmasi di setiap tes masuk perguruan tinggi. Meskipun awalnya saya ingin sekali masuk Universitas Indonesia, tapi kemudian hati nurani saya berbicara, bahwa dimanapun kita berada, yang menentukan tingkat keberhasilan adalah diri kita pribadi, bukan siapa-siapa.

Dan…perang dimulai……..

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita