Special For Buruh
BismillahiRrahmanirRahim...
Spesialisasi Pemerintah
Satu Mei merupakan hari bersejarah dan hari yang banyak
dinantikan oleh kalangan proletariat di seluruh dunia. Dimana dalam perjalanan
sejarah, hari itu bagaikan hari kebangkitan para buruh yang bahkan sampai
sekarang masih berusaha memperjuangkan hak-haknya. Satu Mei tahun ini, tak
ubahnya satu Mei satu Mei beberapa tahun kebelakang. Ketika prediksi akan
pecahnya satu Mei ini dengan aksi buruh telah dilontarkan, maka prediksi bukan
lagi hanya sekedar prediksi, seperti sebuah keniscayaan bahwa satu Mei adalah
hari keramat bagi pemerintah dan jajaran kepolisian.
Meski tujuan utama
terbentuknya May Day ini telah mengalami pergeseran, pada dasarnya yang
diperjuangkan oleh para buruh adalah sama. Mereka menuntut hak. Dalam hal ini,
semua permasalahan yang dirundung Indonesia seakan-akan dispesialisasikan bagi
pekerja semacam buruh. Isu kenaikan BBM yang kini sedang naik daun semakin
eksis oleh adanya peringatan Hari Buruh.
Pada dasarnya, impak yang dirasakan oleh kaum buruh terhadap
permasalahan baik ekonomi maupun konstitusi, merupakan turunan dari pelaksanaan
outsourcing yang kurang baik. Melirik
kembali makna outsourcing yang
sebenarnya, outsourcing yang dikenal
kini nampak selalu negatif. Menguntungkan sebelah pihak, yakni perusahaan
pemberi pekerjaan, atau perusahaan yang menerapkan outsource. Outsourcing memang merugikan, tetapi
dengan pengelolaan yang baik, keuntungan bagi kedua belah pihak dapat dicapai.
Dalam sebuah makalah studi kasus outsourcing
disebutkan bahwa kehadiran Negara yang semula diharapkan dapat memberikan
jaminan perlindungan atas hak-hak dasar pekerja/buruh, malah justru terjadi
sebaliknya, kehadiran Negara lebih terkesan represif bahkan eksploitatif
terhadap kepentingan pekerja/buruh. Sementara peran Negara dalam hubungan
industrial terkesan fasilitatif dan akomodatif terhadap kepentingan pemodal. Indikasi
lemahnya perlindungan hukum bagi pekerja/buruh dapat dilihat dari problematika outsourcing yang kini semakin mengakar.
Ini diperparah oleh pelegalan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. Undang-Undang ini secara resmi melegalkan perburuhan di
Indonesia, yang pada kenyataannya praktik perburuhan ini tidak sesuai dengan
perikemanusiaan sebagaimana tertuang dalam konstitusi Negara, baik pancasila
maupun UUD.
Kenyataan
yang terjadi adalah status para pekerja/buruh tidak jelas, karena hubungan
vendor dengan pekerja/buruh tidak dibuat dalam bentuk Perjanjian Kerja secara
tertulis. Serta perlakuan-perlakuan diskriminatif lainnya seperti upah murah
yang tidak sesuai dengan standar upah minimum dan kebutuhan hidup layak
pekerja/buruh, tidak diterapkannya waktu kerja dan waktu istirahat
pekerja/buruh, tidak diikutsertakan dalam program Jamsostek, dan
indikasi-indikasi lainnya yang menjerat para pekerja/buruh outsourcing.
Dalam
hal ini, permasalahan-permasalahan yang kian membengkak dan belum teratasi
terasa sangat menyiksa kaum buruh outsourcing.
Entah pemerintah belum menemukan solusi terbaik yang menguntungkan semua pihak,
atau memang ada ‘spesialisasi’ yang diberikan pemerintah bagi kaum buruh untuk
kepentingan Negara semata. Meski pikiran-pikiran negatif bukan sesuatu yang
pantas terlintas dalam akal pikiran kita sebagai Muslim Negarawan, namun asumsi
yang dirasa perlu untuk kemudian dapat membangkitkan saraf-saraf pemecahan
masalah di Negara ini saya kira boleh diluncurkan.
Problematika
perburuhan ini telah menjadi isu nasional dan PR bersama. Tetapi bukan suatu
yang bijak ketika solusi yang diberikan hanyalah pemantik atau semacam pemadam
kebakaran, atau secara gamblangnya, solusi yang hanya sebuah wacana. Ketika
kemudian saya menemukan berita yang berjudul “Libur
Hari Buruh 1 Mei Mulai 2014”, dan di dalamnya terdapat kalimat “Presiden SBY memberikan kado bagi
para buruh. Satu Mei ditetapkan sebagai hari libur nasional”, pantaslah kita
semua menggeleng. Bukankah kado adalah sesuatu yang disenangi? Pertanyaan saya
adalah, apakah ‘kado’ ini kemudian akan membawa kehidupan yang layak bagi para
buruh? Mari kita berikan apresiasi kepada Bapak Presiden yang telah dengan
bijaknya menentukan kebijakan ini. Namun perlu dicermati, bahwa ditetapkannya
Hari Buruh sebagai Hari Libur Nasional bukanlah solusi terbaik bagi
kesejahteraan rakyat, khususnya para pekerja seperti buruh.
Kaitannya
Dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Perlu
saya ingatkan wahai Muslim Negarawan, bahwa KAMMI adalah perkumpulan Muslim
yang Negarawan, dan bukan Negarawan Muslim. Oleh karenanya, mari kembali kepada
landasan kita, yang dengannyalah setiap solusi dihadirkan, karena Islam hadir
untuk menyelesaikan segala persoalan, bukan persoalan datang karena kehadiran
Islam. Maka, buka kembali Al Qur’an, buka kembali As Sunnah. Kita kaji bersama.
Islam
tidak mengenal perburuhan, karena dalam Islam tidak ada perbedaan kelas seperti
kaum buruh dan pengusaha, kaum proletar dan borjuis, buruh tani dan tuan tanah,
dan lain-lain. Di dalam Islam, seperti yang disebutkan oleh
Abdurrahman Al Maliki dalam Politik Ekonomi Islam (2001:149), ijaaroh
didefinisikan sebagai aqad/transaksi atas manfaat/jasa (yang dikeluarkan
pekerja) dengan memperoleh imbalan (berupa upah/ujroh dari pemberi upah).
Ekonomi Islam mengistilahkan pekerja dengan sebutan Ajir, dan pemberi upah adalah
musta’jir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa upah yang diberikan musa’jir bukan
berdasar pada kebutuhan pekerja, tetapi manfaat yang ia berikan. Di sini kita
memahami bahwa setiap pekerja memberikan manfaat yang berbeda-beda sesuai
pekerjaan, keterampilan, dan lain-lain, sehingga upah yang diberikan pun
berbeda.
Seperti yang tertuang dalam QS.
Ath Thalaq: 6;
"Apabila mereka (wanita-wanita) menyusui anak
kalian, maka berikanlah kepada mereka upah-upahnya."
Selain itu, Rasulullah SAW
bersabda pula terkait jumlah upah yang diberikan;
“Apabila salah seorang di antara kalian, mengontrak
(tenaga) seorang ajiir, maka hendaknya dia
memberitahukan tentang upahnya.” (HR. Ad-Daruquthni)
Oleh
karena itu, dalam pandangan Islam, Negara tidak menetapkan besarnya upah semcam
UMR/UMK. Tetapi diserahkan sepenuhnya kepada kedua belah pihak. Dimana
dengannya perselisihan akan lebih mudah dihindari. Selain itu telah kita
ketahui bersama bahwa Jaminan Sosial baik pendidikan, kesehatan maupun hari tua
dalam Islam wajib diberikan kepada seluruh rakyat, bukan hanya Pegawai Negeri
serta jajarannya.
Allah berfirman dalam QS Al
Baqarah: 286;
“Allah tidak memberati seseorang melainkan apa yang
terdaya olehnya. Ia mendapat pahala kebaikan yang diusahakannya, dan ia juga
menanggung dosa kejahatan yang diusahakannya. (Mereka berdoa dengan berkata):
"Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau mengirakan kami salah jika kami lupa
atau kami tersalah. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau bebankan kepada kami
bebanan yang berat sebagaimana yang telah Engkau bebankan kepada orang-orang
yang terdahulu daripada kami. Wahai Tuhan kami! Janganlah Engkau pikulkan
kepada kami apa yang kami tidak terdaya memikulnya. Dan maafkanlah kesalahan
kami, serta ampunkanlah dosa kami, dan berilah rahmat kepada kami. Engkaulah
Penolong kami; oleh itu, tolonglah kami untuk mencapai kemenangan terhadap
kaum-kaum yang kafir.””
Ayat ini mengabarkan bahwa tidak
ada pemberatan dalam Islam, tidak ada pekerjaan yang dilakoni oleh seseorang
yang kemudian ia merasa sangat keberatan dengannya. Harusnya inilah yang
mendasari setiap orang ketika menggunakan jasa dari orang lain.
Begitu banyak pelajaran yang
dapat diambil dari saripati Islam ini. Maka, tidak pantaslah kita memutuskan
suatu perkara tanpa bersandar pada apa yang Allah firmankan dan Rasulullah
sabdakan. Terlebih mengenai perburuhan yang telah banyak dikaji baik dari kaum
nasionalis, sosialis, maupun agamis, agaknya perlu disinkronisasi antara ketiganya
sehingga membentuk solusi yang sesuai melihat bentuk dan sistem Negara
Indonesia.
Kesimpulan
Dengan ini saya bukan mengajak
kepada penyerangan pemerintah dan semacamnya, tetapi perlu dipahami bersama
bahwa pemahaman mengenai perburuhan di Indonesia agaknya perlu pula
disebarluaskan, sehingga masyarakat memiliki bayangan mengenai pekerjaan ini.
Begitu pula pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah dalam
pengkaryaan Sumber Daya Manusia perlu dilancarkan. Pemerintah memiliki peran penting
dalam kegiatan ini, dan pemerintah bukanlah kuasa atas segalanya, sehingga
diperlukan adanya dukungan yang besar dari masyarakat terutama kaum intelektual
seperti mahasiswa. Ketika ada output, selalu ada input, ketika ada pemberian,
selalu ada feedback. Pemerintah bukanlah tempat penyimpanan hujatan, tetapi
tempat aspirasi.
Problematika Perburuhan yang tak
pernah surut dari zaman ke zaman perlu dikaji secara mendalam, karena pada
dasarnya, problema yang tak kunjung usai merupakan indikasi adanya campur
tangan pihak tak bertanggung jawab yang memainkan problema ini. Allahu a’lam bishowab.
Comments
Post a Comment