Sang Inspirator
Bismillahirrahmanirrahim...
Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti direct selling seorang calon anggota legislatif di Desa Gununglurah, Cilongok, Purwokerto. Desa tersebut cukup terpencil, jalan berliku dan penuh lubang, serta tanjakan curam kerap kami temui. Perjalanan motor dalam keadaan hujan cukup menantang memang, namun terbalaskan dengan hikmah mendalam selama perjalanan. Menyenangkan melihat rel kereta api di atas kepala, yang kemudian beberapa menit kemudian rel tersebut saya lihat berada di bawah tebing sana. Indah, terlebih sedang hujan.. Kami transit di rumah seorang kader partai kami sebelum melakukan direct selling, dan hikmah terbesar adalah ketika saya menemukan Sang Inspirator;
Menarik ketika saya dan rekan saya mendatangi seorang warga yang sudah direkomendasikan oleh caleg tersebut. Beliau seorang wanita lansia yang kira-kira umurnya di atas 60 tahun. Memang saat itu yang banyak bicara adalah rekan saya yang memang asli Banyumas, saya hanya menemani saja, dan belajar menyambangi warga. Jujur dalam pembicaraan rekan dan eyang ini saya lebih banyak tidak mengertinya, tapi saya berusaha mengikuti. Yang pertama kali kami tanyakan adalah kesediaan beliau mendukung caleg dari partai kami. Beliau nampak bijak sekali, beliau berkata, “ya, silahkan, kalau dukung, ya kami dukung saja.” Begitu kira-kira, beliau mengatakannya dengan bahasa Jawa. Kemudian, “ini kan pemilu bebas dan rahasia ya? Jadi ya untuk dukungan monggo, kami dukung-dukung saja.”
Cukup menarik bagi saya, karena beliau memiliki pandangan seperti itu, yang saya juga pernah temukan tapi dari kalangan mahasiswa. Saya kira beliau memiliki cara berpikir yang cukup baik terutama dari kalangan warga desa. Beliau tidak terpengaruh dengan bantuan, dalam artian bantuan bukanlah menjadi tolok ukur penerimaan beliau terhadap caleg. Tidak sering kita menemukan sikap ini di kalangan masyarakat desa. Terkadang money politics memang cara yang cukup ampuh dalam penjaringan suara, terutama di kalangan bawah. Namun, sikap eyang yang saya temui pagi ini cukup mengagumkan.
Beliau adalah seorang guru ngaji yang memang telah lama menekuni itu, beliau orang yang hanif. Beliau menceritakan kisahnya bagaimana beliau memotori penyiaran ilmu agama dan Al Qur'an di desa tersebut, kemudian beliau terdiam dan berkata, "sama sekali saya cerita bukan untuk menyombongkan diri ya, nak.." Begitu kira-kira. "Tidak ada gunanya kita bersombong-sombong, karena sombong adalah pakaian Allah. Padahal kita kecil di hadapan-Nya. Sangat kecil.." Saya dan rekan saya mengangguk, rekan saya menjawab, "nggih yang, pengalaman itu penting juga diceritakan untuk memotivasi. Terutama bagi kita yang masih sangat minim pengalamannya dibandingkan eyang.." Si eyang meminta maaf beberapa kali, dan melanjutkan kisahnya. Ah, senang sekali melihatnya..
Sempat beliau bertanya dari mana asal saya, lalu saya menjawab dari Banten. Beliau berkata, “oh Banten, saya dulu pernah hendak ke daerah sana tapi belum jadi, di ujung jawa sana? Dekat Sumatera? Iya, sampai sekarang saya mau ke sana tapi belum ada rizqinya..” saya sedikit terkejut, atau jangan-jangan beliau seorang petualang? Hobby travelling? Apa yang ingin beliau temukan di Banten? Ah, tapi saya tidak sempat menanyakan apa-apa, karena beliau asyik melanjutkan perbincangan tentang profesinya sebagai guru ngaji. Tetap menarik, saya mendengarkan sambil sekali-kali mengangguk. Berharap anggukan ini mendatangkan pemahaman.
Sebagaimana orang tua yang telah berumur dan memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak beliau memberikan banyak wejangan. Bahkan saya yang tidak mengerti bahasa Jawa saja seakan-akan mengerti, karena memang wejangan beliau sedikit banyak saya pahami. Dan sebagaimana pula orang tua yang memberikan wejangan, waktu kadang terlupakan. Kami sudah setengah jam duduk berbincang, informasi yang ingin kami dapatkan sudah kami dapat di awal, bahwa beliau tidak memberikan kejelasan suara. Tepat adzan ashar usai, kami pamit undur diri, dan keluar dari rumah beliau dengan ketenangan hati dan pikiran, uraian kisah beliau sangat membekas, meluaskan wawasan. Beberapa kali beliau meminta maaf karena telah menyita banyak waktu kami. Tapi bagi kami, ini adalah sebuah keberuntungan. Semoga 9 April nanti beliau bersedia memilih caleg yang kami tawarkan..semoga J
Kami menerima setiap jawaban dengan lapang, karena beginilah direct selling. Layaknya seorang sales yang datang ke rumah-rumah untuk mempromosikan barang dagangannya. Hasilnya pasti di antara dua, ditolak, atau diterima. Meski terkadang jawabannya mengambang. Kami hanya datang untuk mencari dukungan, dan mempromosikan ketika objek kami belum menetapkan pilihan. Namun kami kembalikan kepada pemilih pada akhirnya, karena pemilihan sama sekali tidak memaksa.
Masyarakat butuh pencerahan, inilah yang sebenarnya kami bawa. Kami berusaha meminimalisir hak pilih yang tidak digunakan, dengan kata lain kami mencoba meminimalisir jumlah golput pada pemilu tahun ini. Memilih pemimpin pada dasarnya adalah kewajiban setiap orang yang akan dipimpin, meski dalam perundang-undangan, memilih adalah hak yang dapat digunakan ataupun tidak. Namun, bagi saya, memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah tindakan yang kurang bijak. Karena apapun alasannya, memilih pemimpin adalah tanggung jawab bersama. Tidak ada alasan, saya kira, tidak ada alasan untuk golput. Karena selalu ada alasan untuk menentukan pilihan. Selalu ada alasan untuk memiliki kecenderungan pada seseorang dari sekian banyak calon. Inilah saatnya kita gunakan peran kita sebagai pengawas kebijakan. Inilah demokrasi.
Eyang ini telah membuktikan tanggung jawabnya, ia seorang yang paham saya rasa. Melihat beliau begitu menjaga sifat kemerdekaannya dalam memilih, melihat beliau tidak terpengaruh dengan bantuan-bantuan caleg yang datang silih berganti, membuktikan beliau telah menetapkan pilihan. Beliau nampak memiliki harapan besar bagi para calon pemimpin, dan ini yang seharusnya dirasakan oleh setiap individu. Menjaga dan memelihara harapan besar bagi bangsa. Menjauhi sifat pesimistis yang merugikan, dan senantiasa aktif berpartisipasi dalam pembangunan negara. Ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Mengutip penuturan Dr. Abdul Karim Zaidan, bahwa kepemimpinan adalah hak publik. Arti hak publik di sini adalah rakyat berhak memilih pemimpinnya, sebagaimana mereka juga berhak mencabutnya. Hak ini diberikan dengan tujuan memberikan keleluasaan bagi rakyat, dalam upaya mencegah kezhaliman pemimpin. Makna ini seharusnya yang dipahami umat muslim, bahwa dengan menggunakan hak pilihnya dengan baik, masalah kepemimpinan dapat teratasi. Masalah sosial, ekonomi, politik dapat terselesaikan. Ya, dengan menggunakan hak pilihnya secara baik dalam pemilihan umum. Saya sampai detik ini masih meyakini adanya kemurnian tujuan dari sekian kader yang ada di partai-partai itu, saya masih meyakini cita-cita besar para calon pemimpin itu. Sebagaimana sang eyang yang beberapa waktu lalu saya temui meyakini itu semua.
Sampai jumpa di 9 April, tetapkan pilihanmu dengan kemantapan hati dan pikiran. Semoga ini menjadi langkah awal kita dalam kesuksesan, menjadi ladang amal kita, dan inilah ikhtiar kita bersama. Semoga Allah memberkahi J
Beberapa waktu yang lalu saya mengikuti direct selling seorang calon anggota legislatif di Desa Gununglurah, Cilongok, Purwokerto. Desa tersebut cukup terpencil, jalan berliku dan penuh lubang, serta tanjakan curam kerap kami temui. Perjalanan motor dalam keadaan hujan cukup menantang memang, namun terbalaskan dengan hikmah mendalam selama perjalanan. Menyenangkan melihat rel kereta api di atas kepala, yang kemudian beberapa menit kemudian rel tersebut saya lihat berada di bawah tebing sana. Indah, terlebih sedang hujan.. Kami transit di rumah seorang kader partai kami sebelum melakukan direct selling, dan hikmah terbesar adalah ketika saya menemukan Sang Inspirator;
Menarik ketika saya dan rekan saya mendatangi seorang warga yang sudah direkomendasikan oleh caleg tersebut. Beliau seorang wanita lansia yang kira-kira umurnya di atas 60 tahun. Memang saat itu yang banyak bicara adalah rekan saya yang memang asli Banyumas, saya hanya menemani saja, dan belajar menyambangi warga. Jujur dalam pembicaraan rekan dan eyang ini saya lebih banyak tidak mengertinya, tapi saya berusaha mengikuti. Yang pertama kali kami tanyakan adalah kesediaan beliau mendukung caleg dari partai kami. Beliau nampak bijak sekali, beliau berkata, “ya, silahkan, kalau dukung, ya kami dukung saja.” Begitu kira-kira, beliau mengatakannya dengan bahasa Jawa. Kemudian, “ini kan pemilu bebas dan rahasia ya? Jadi ya untuk dukungan monggo, kami dukung-dukung saja.”
Cukup menarik bagi saya, karena beliau memiliki pandangan seperti itu, yang saya juga pernah temukan tapi dari kalangan mahasiswa. Saya kira beliau memiliki cara berpikir yang cukup baik terutama dari kalangan warga desa. Beliau tidak terpengaruh dengan bantuan, dalam artian bantuan bukanlah menjadi tolok ukur penerimaan beliau terhadap caleg. Tidak sering kita menemukan sikap ini di kalangan masyarakat desa. Terkadang money politics memang cara yang cukup ampuh dalam penjaringan suara, terutama di kalangan bawah. Namun, sikap eyang yang saya temui pagi ini cukup mengagumkan.
Beliau adalah seorang guru ngaji yang memang telah lama menekuni itu, beliau orang yang hanif. Beliau menceritakan kisahnya bagaimana beliau memotori penyiaran ilmu agama dan Al Qur'an di desa tersebut, kemudian beliau terdiam dan berkata, "sama sekali saya cerita bukan untuk menyombongkan diri ya, nak.." Begitu kira-kira. "Tidak ada gunanya kita bersombong-sombong, karena sombong adalah pakaian Allah. Padahal kita kecil di hadapan-Nya. Sangat kecil.." Saya dan rekan saya mengangguk, rekan saya menjawab, "nggih yang, pengalaman itu penting juga diceritakan untuk memotivasi. Terutama bagi kita yang masih sangat minim pengalamannya dibandingkan eyang.." Si eyang meminta maaf beberapa kali, dan melanjutkan kisahnya. Ah, senang sekali melihatnya..
Sempat beliau bertanya dari mana asal saya, lalu saya menjawab dari Banten. Beliau berkata, “oh Banten, saya dulu pernah hendak ke daerah sana tapi belum jadi, di ujung jawa sana? Dekat Sumatera? Iya, sampai sekarang saya mau ke sana tapi belum ada rizqinya..” saya sedikit terkejut, atau jangan-jangan beliau seorang petualang? Hobby travelling? Apa yang ingin beliau temukan di Banten? Ah, tapi saya tidak sempat menanyakan apa-apa, karena beliau asyik melanjutkan perbincangan tentang profesinya sebagai guru ngaji. Tetap menarik, saya mendengarkan sambil sekali-kali mengangguk. Berharap anggukan ini mendatangkan pemahaman.
Sebagaimana orang tua yang telah berumur dan memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak beliau memberikan banyak wejangan. Bahkan saya yang tidak mengerti bahasa Jawa saja seakan-akan mengerti, karena memang wejangan beliau sedikit banyak saya pahami. Dan sebagaimana pula orang tua yang memberikan wejangan, waktu kadang terlupakan. Kami sudah setengah jam duduk berbincang, informasi yang ingin kami dapatkan sudah kami dapat di awal, bahwa beliau tidak memberikan kejelasan suara. Tepat adzan ashar usai, kami pamit undur diri, dan keluar dari rumah beliau dengan ketenangan hati dan pikiran, uraian kisah beliau sangat membekas, meluaskan wawasan. Beberapa kali beliau meminta maaf karena telah menyita banyak waktu kami. Tapi bagi kami, ini adalah sebuah keberuntungan. Semoga 9 April nanti beliau bersedia memilih caleg yang kami tawarkan..semoga J
Kami menerima setiap jawaban dengan lapang, karena beginilah direct selling. Layaknya seorang sales yang datang ke rumah-rumah untuk mempromosikan barang dagangannya. Hasilnya pasti di antara dua, ditolak, atau diterima. Meski terkadang jawabannya mengambang. Kami hanya datang untuk mencari dukungan, dan mempromosikan ketika objek kami belum menetapkan pilihan. Namun kami kembalikan kepada pemilih pada akhirnya, karena pemilihan sama sekali tidak memaksa.
Masyarakat butuh pencerahan, inilah yang sebenarnya kami bawa. Kami berusaha meminimalisir hak pilih yang tidak digunakan, dengan kata lain kami mencoba meminimalisir jumlah golput pada pemilu tahun ini. Memilih pemimpin pada dasarnya adalah kewajiban setiap orang yang akan dipimpin, meski dalam perundang-undangan, memilih adalah hak yang dapat digunakan ataupun tidak. Namun, bagi saya, memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu adalah tindakan yang kurang bijak. Karena apapun alasannya, memilih pemimpin adalah tanggung jawab bersama. Tidak ada alasan, saya kira, tidak ada alasan untuk golput. Karena selalu ada alasan untuk menentukan pilihan. Selalu ada alasan untuk memiliki kecenderungan pada seseorang dari sekian banyak calon. Inilah saatnya kita gunakan peran kita sebagai pengawas kebijakan. Inilah demokrasi.
Eyang ini telah membuktikan tanggung jawabnya, ia seorang yang paham saya rasa. Melihat beliau begitu menjaga sifat kemerdekaannya dalam memilih, melihat beliau tidak terpengaruh dengan bantuan-bantuan caleg yang datang silih berganti, membuktikan beliau telah menetapkan pilihan. Beliau nampak memiliki harapan besar bagi para calon pemimpin, dan ini yang seharusnya dirasakan oleh setiap individu. Menjaga dan memelihara harapan besar bagi bangsa. Menjauhi sifat pesimistis yang merugikan, dan senantiasa aktif berpartisipasi dalam pembangunan negara. Ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Mengutip penuturan Dr. Abdul Karim Zaidan, bahwa kepemimpinan adalah hak publik. Arti hak publik di sini adalah rakyat berhak memilih pemimpinnya, sebagaimana mereka juga berhak mencabutnya. Hak ini diberikan dengan tujuan memberikan keleluasaan bagi rakyat, dalam upaya mencegah kezhaliman pemimpin. Makna ini seharusnya yang dipahami umat muslim, bahwa dengan menggunakan hak pilihnya dengan baik, masalah kepemimpinan dapat teratasi. Masalah sosial, ekonomi, politik dapat terselesaikan. Ya, dengan menggunakan hak pilihnya secara baik dalam pemilihan umum. Saya sampai detik ini masih meyakini adanya kemurnian tujuan dari sekian kader yang ada di partai-partai itu, saya masih meyakini cita-cita besar para calon pemimpin itu. Sebagaimana sang eyang yang beberapa waktu lalu saya temui meyakini itu semua.
Sampai jumpa di 9 April, tetapkan pilihanmu dengan kemantapan hati dan pikiran. Semoga ini menjadi langkah awal kita dalam kesuksesan, menjadi ladang amal kita, dan inilah ikhtiar kita bersama. Semoga Allah memberkahi J
Comments
Post a Comment