Minus Satu Pekan
Bismillahirrahmanirrahim...
Satu pekan lagi menuju momen
penting bangsa ini. Satu pekan lagi menuju pesta besar. Banyak yang mengatakan,
satu pekan lagi menuju kemenangan rakyat Indonesia. Siapapun yang akan unggul
pada tanggal 9 April nanti, itu merupakan kemenangan rakyat. Siapapun yang
unggul nanti, itu adalah pilihan rakyat, yang kemudian harus dipertanggungjawabkan
oleh rakyat itu sendiri. Siapapun yang unggul nanti, tidak terlepas dari peran
satu orang pun di negara ini. Para wakil rakyat yang pada akhirnya duduk di
senayan, atau di bangku pemerintahan daerah nanti adalah orang-orang yang
dimandatkan langsung oleh rakyat untuk memperjuangkan kebenaran. Pertanyaannya adalah,
akankah mereka memperjuangkan kebenaran, atau memperjuangkan kepentingan?
Saya lahir dari rahim seorang
aktivis dakwah. Sejak saya mulai mengingat detail kehidupan terkecil, saya
sudah diperkenalkan dengan lingkungan ini, atmosfer ini. Di mana para sahabat
umi (panggilan untuk ibu) adalah mereka yang berjilbab lebar, wajah tenang, dan
pandangan teduh. Begitu juga dengan para lelakinya, nampak bersih dan bersinar.
Menyenangkan, saya merasa sangat nyaman dalam lingkungan ini. Keakraban saya
dengan suasana ini menyimpan cinta, cinta yang kian tumbuh berkembang. Cinta ini
melebar, menabrak batas-batas kerdilnya pengetahuan, cinta ini sampai pada
sebuah jalan, yang bahkan tak lagi saya temukan kesenangan dan kenyamanan
semata. Justru jalan ini terasa sulit, sangat sulit. Di sinilah kini cinta itu
tumbuh, jalan dakwah.
Teringat saya ketika beberapa
kali diajak oleh kedua orang tua saya. Saat itu saya masih menikmati usia
bermain di Ibukota negara. Menikmati alunan nasyid haraki, menyaksikan ramainya
senayan yang dipenuhi lautan manusia berdress-code putih-putih. Teringat saya
ketika dibelikan vcd kumpulan nasyid dalam acara tersebut, yang kemudian kami
menyetelnya di rumah dengan volume penuh, yang suaranya sampai terdengar ke
depan gang perumahan. Saat itu yang saya rasakan adalah euforianya saja,
kesenangan yang tak bermakna. Itu karena saya belum berpikir kompleks, masih
terikutkan arus.
Teringat saya ketika umi
kehilangan janinnya yang masih berumur 2-3 bulan di dalam perut karena
kesibukan beliau berdakwah. Terbang ke sana kemari. Hingga kandungannya
keguguran, saat itu tahun 2003, anak ketujuh. Mengherankan, anak-anak tidak ada
yang protes karena kesibukan umi dan abi. Bahkan kami sangat senang apabila
dilibatkan, hitung-hitung jalan-jalan ke pulau-pulau di sekitar Maluku.
Saat itu saya hanya mengikuti ‘tradisi’
yang dibangun keluarga. Tidak sedikit orang tua yang gagal membangun ‘tradisi’
itu. Tidak sedikit teman-teman saya yang orang tuanya adalah sahabat orang tua
saya kini berada pada kondisi moral yang memprihatinkan, yang tidak diharapkan
sebelumnya. Namun, juga tidak sedikit yang berhasil membangun keluarga huffadz,
membangun keluarga berprestasi. Setiapnya memang variatif, dan itu sunnatullah.
Bukankah kaluarga Nuh dan Luth ada yang durhaka? Ya, karena keimanan sejatinya
tidak dapat diwariskan.
Saat itu ideologi saya belum
terbentuk, masih sering menjadikan orang tua saya sebagai alasan. Saya berada
dalam lingkaran ini karena orang tua, saya berakhlak baik karena orang tua,
saya harus sekolah juga di lingkungan ini karena orang tua. Saat itu hati
terpaut secara biologis.
Dua tahun silam, banyak hal yang
mengubah paradigma saya tentang jalan ini. Dua tahun silam, saya mulai
merasakan suatu gejolak baru yang mendesak keluar, butuh ekspresi tersendiri. Dua
tahun silam, saya mulai tersadar akan sebuah ‘panggilan dakwah’. Dua tahun
silam, mata saya terbuka dari pejamnya. Bahwa ini bukan soal dari mana saya
lahir, bukan soal bagaimana lingkungan saya, bukan soal kebiasaan apa yang telah
lama dibiasakan. Ini soal siapa, untuk apa, dan akan kemana saya berada di
dunia. Saya mulai memahami ‘tradisi’ yang dibangun oleh umi dan abi, bahwa
itulah yang dibutuhkan kesepuluh anaknya. Saya mulai memahami kesibukan—yang tak
pernah diprotes—umi abi dalam merentas jalan ini. Saya mulai memahami banyak
hal, dan merasa perlu mempelajari banyak hal.
Sejak dua tahun silam, hingga
kini, saya meyadari bahwa saya berada di antara wanita-wanita berkerudung
lebar, berwajah tenang, dan berpandangan teduh, bukanlah karena saya sudah
terikat dengan kebiasaan yang dibiasakan. Bukan pula karena orang tua yang
memaksakan, dan juga bukan karena keduanya perlu dukungan. Tapi, saya melihat
ada kebenaran di sana, saya merasakan banyak kebaikan di sana. Saya melihat,
bahwa manusia-manusia inilah yang kelak akan memimpin dengan kebenaran dan
kesabaran. Saya seperti melihat kesiapan tentara-tentara Allah dalam medan
perang. Saya membaca sebuah semangat menyambut seruan Allah;
انْفِرُوا خِفَافًا
وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat,
dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu
adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. At Taubah: 41)
Di sinilah saya
merasakan aura kemenangan al haq. Di sinilah saya melihat kebangkitan
Indonesia. Di sinilah saya mendapati narasi besar untuk bangsa ini yang terbungkus dalam dua kata; keadilan
dan kesejahteraan. Di sinilah saya temui pemikir-pemikir hebat, yang
memutih rambutnya di usia muda, berpikir untuk Indonesia. Di sinilah saya
memahami konsep besar sebuah peradaban, melalui tiga hal; dengan cinta, tak hanti bekerja,
maka tercapailah sebuah harmoni. Di sinilah, hati kami terpaut
cinta-Nya, keimanan pada-Nya...
Satu pekan lagi, apa
yang kau lihat? Apa yang kau rasakan? Apa yang kau harapkan? Tumpahkan itu
semua dalam empat kertas suaramu di 9 April nanti. Bahwa memperjuangkan kepentingan
bersama adalah sebuah kebenaran, bahwa memperjuangkan kebenaran adalah sebagaimana
yang disebutkan oleh Alm. Ustadz Rahmat Abdullah;
“Ketika
orang tertidur kau terbangun, itulah susahnya. Ketika orang merampas kau
membagi, itulah peliknya. Ketika orang menikmati kau menciptakan, itulah
rumitnya. Ketika orang mengadu kau bertanggung jawab, itulah repotnya. Oleh
karena itu, tidak banyak orang bersamamu di sini, mendirikan imperium
kebenaran.”
Bangunlah,
lihatlah kebenaran yang berani, dan keberanian yang benar. Bukan ia yang
menyembunyikannya. Semoga 9 April nanti menjadi kemenangan sesungguhnya bagi
bangsa ini.
Salam cinta dari Kota Satria....
Salam tiga jari....
H-7 PEMILU
Comments
Post a Comment