Autokritik – Unsoed di Petang Hari (1)
Bismillah...
Belakangan ini banyak pikiran yang mengganggu saya, terlebih
ketika memasuki 10 hari terakhir bulan Februari (seperti Ramadhan saja).
Menjelang Maret, artinya menjelang beberapa agenda yang telah menghiasi
tanggalan pribadi. Ada Pemilihan Raya Farmasi Unsoed, ada Musyawarah Komisariat
Soedirman, dan memang Maret adalah waktu aktif akademik. Selain itu, kakak saya
akan berangkat sekolah ke Jerman di bulan itu juga. Dan Maret, artinya
berakhirnya Februari, di mana janji abi pulang dari Maluku sudah semakin
kadaluwarsa. Dan tak terasa
sekarang sudah Maret.
Di luar itu semua, aktivitas lembaga-lembaga intern dan
ekstern kampus akan di mulai kembali, persiapan bahan bakar, memompa semangat
kembali, menghidupkan ruang-ruang yang redup bahkan mati. Banyak SDM yang
dibutuhkan, maka tarik menarik SDM sudah dimulai sejak kemarin. Bulan kemarin
maksudnya. Ah tidak, bahkan 2 bulan yang lalu.
Tahun ini saya banyak beraktivitas di lembaga eksternal
kampus mungkin, dan ini yang membuat saya banyak mengalah, harus berlapang dada
ketika bahan bakar lembaga dialihkan untuk menghidupkan mesin yang lain. Saya
tahu SDM terbaik kita tahun ini tidak begitu banyak, apalagi ditambah jumlah aktivis
yang siap lulus cepat, semakin menciutkan nyali. Entah saya yang pengecut, atau
terlalu banyak kekhawatiran. Semoga Allah memberikan ketenangan...
Dua bulan yang lalu saya sempat keki. Mengapa semua SDM
terbaik KAMMI harus ditarik ke lembaga publik yang seharusnya sangat eksis,
seperti BEM dan LDK. Saya yakin, dalam hal manajemen organisasi kader-kader
KAMMI sudah cukup baik, dan berpengalaman, oleh karenanya mereka dibutuhkan di
berbagai lembaga kampus. Namun, bukan berarti semua dihabiskan, atau kasarnya
dieksploitasi di mana-mana. Ada yang bahkan ditempatkan di dua atau tiga lembaga
sekaligus. Saya rasa kurang manusiawi, apalagi kalau amanah yang diberikan
lebih dari satu lembaga yakni menjadi pimpinan (sebetulnya dalam hati ingin
mengatakan “sangat tidak manusiawi”). Setelah saya kroscek, bukan selalu karena
memang dia sangat potensial, tapi karena tidak tahu lagi siapa yang bisa
membesarkan bidang itu, atau siapa yang memahami bidang tersebut. Intinya kehabisan orang, regenerasi
tidak optimal.
Mengapa saya katakan kurang manusiawi (atau sangat tidak
manusiawi)? Karena, itu adalah praktik zhalim kecil-kecilan, zhalim terhadap
yang bersangkutan, zhalim terhadap kader yang belum ditempatkan, zhalim terhadap
lembaga yang bersangkutan, dan zhalim terhadap lembaga yang lain. Amanah boleh
diberikan kepada ahlinya jika memang tidak mungkin diberikan kepada orang lain,
tapi bukan berarti kita hanya mengandalkan ‘yang ada’. Zhalim sedikit-sedikit juga bisa menjadi bukit
loh. Dan yang sangat disayangkan, praktik ini
dilakukan oleh kader KAMMI juga, yang ada di lembaga internal kampus. Ah,
semoga saja saya salah mengira…
Saya rasa BEM dan LDK pasti memiliki target besar tahun ini,
maka saya berikan pe-er lagi untuk kedua lembaga itu: kuatkan cengkraman. Jika mencengkram saja
tidak kuat, apakah bisa menopang sayap yang lebar? Coba lihat eksistensi
lembaga di dalam kampus. Bagaimana hasil open recruitment? Kemarin saya dengar
LDK tengah kekurangan kader, oprek kurang berhasil. Jelas kurang berhasil,
karena promosi dilakukan hanya ketika membentuk kepengurusan baru, itu pun
kurang masif dan kreatif. Promosi seharusnya dilakukan sepanjang periode
kepengurusan, tarik peminat sebanyak-banyaknya, libatkan mahasiswa
sesering-seringnya. Maka membesarkan lembaga bukan lagi dengan menghabiskan
bahan bakar, tapi dengan menambah bahan bakar.
Belakangan
saya juga dapat kabar bahwa hasil oprek BEM jauh dari ekspektasi. Trendnya
menurun seperti grafik eliminasi obat. Jumlahnya jauh lebih sedikit daripada
tahun sebelumnya. Ada apa? Saya yakin kita tidak bisa menyalahkan mahasiswa
pada umumnya. Kita tidak bisa menyalahkan keadaan, keminatan, kultur yang
berbeda pada tahun ini, dan atau hal-hal yang menunjukkan pembelaan diri
lainnya. Saya yakin harus ada yang dibenahi dalam tubuh BEM dan LDK. Entah
bahasa promosi yang sebelumnya kurang pas/relevan pada masa ini, atau terlalu
banyak ‘noda’ yang harus dibersihkan. Atau memang persepsi para penggiat di
dalamnya masih sangat Proker Oriented.
Kembali ke
bahan bakar. Saya menyadari, proses pembinaan dalam tubuh KAMMI (terutama
Komisariat Soedirman) masih terlampau lemah. Visi KAMMI adalah sebagai wadah
perjuangan yang akan melahirkan
pemimpin masa depan dan bla bla, intinya melahirkan pemimpin. Visi ini bukan
sampai di sana, bukan kemudian lahirlah pemimpin dan “yeay, we did it!” Sama
sekali bukan. Justru
itu awalnya. Maka ketika kepemimpinannya tidak mambawa perubahan, atau
penciptaan, atau perbaikan, atau hal-hal yang kaitannya dengan dinamisasi
organisasi, maka sangat disayangkan sekali. Bisa jadi kita gagal mencapai
tujuan yang sebenarnya.
Saya lihat
KAMMI mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang diharapkan, tapi persiapan yang
minim menjadikannya tersendat. KAMMI kurang persiapan, sedangkan kader-kadernya
setiap hari diminta berkarya. Lembaga seperti menularkan pesimistisnya pada
kader-kadernya. Sehingga kualitas senantiasa menurun. Banyak kader yang tembus
pucuk kepemimpinan tapi tak mampu berbuat apa-apa. Ini sangat menakutkan.
Lalu pada
‘masa kritis’ regenerasi di tubuh KAMMI ini, lembaga internal kampus yang
pimpinannya terdiri dari kader-kader KAMMI belum mampu menyimpul minat para
mahasiswa untuk berkontribusi dalam lembaga besar semacam BEM dan LDK, atau
setidaknya menghadirkan sense of
belonging mereka terhadap lembaga-lembaga tersebut. Mengapa saya hanya
menyebutkan dua lembaga ini? Karena pertama, BEM adalah lembaga yang seharusnya
banyak sekali persinggungannya dengan mahasiswa, kontribusi di dalamnya
memiliki banyak keuntungan, keuntungan jaringan secara horizontal juga
vertikal, keuntungan wawasan, keuntungan pengalaman, dan masih banyak keuntungan lainnya.
Kedua, LDK. LDK ibarat forum besar mahasiswa muslim se-universitas, bukan hanya
forum, tapi juga yang mewadahi, bahkan menjadi sebuah keluarga. Seharusnya tak
ada keraguan bagi muslimin dan muslimat di kampus untuk bergabung bersamanya.
Lagi-lagi KAMMI harus mengevaluasi diri, dan lembaga-lembaga
internal kampus harus tahu diri. Orientasi niat. Itu penting. Kader-kader KAMMI
harus tahu profesionalitas, luruskan niat berada di KAMMI, dan luruskan juga
niat berada di lembaga internal kampus. Agar tujuan-tujuan yang ingin dicapai
betul-betul tercapai, bukan seperti mimpi di siang terik (meminjam bahasa kajur
saya).
Lalu pertanyaan lain yang perlu dijawab adalah, siapa yang siap membenahi ketika bola kepemimpinan KAMMI bergulir. Siap meluangkan pikirannya, waktunya, tenaganya, bahkan hartanya untuk meraih cita-cita, mimpi dan harapan bangsa yang terukir dalam falsafah gerakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia? Siapa yang siap mengisi ruang-ruang kosong akibat benturan zona nyaman, menyalakan ruang-ruang gelap akibat kebimbangan zaman? Saya yakin masih ada orang-orang itu, di antara daftar nama AB1 dalam database kader, atau di antara barisan rapi peserta MK1, atau di antara keramaian diskusi peserta DM1. Generasi ini belum punah, ia hanya sakit, dan perlu evidence-based medicine dalam langkah kuratifnya. Siapa yang akan meng-assess? Ya kamu, yang masih punya peduli.
Semoga persoalan SDM bukanlah batu sandungan yang membuat KAMMI tersungkur dan tak bisa bangkit lagi, tapi justru menjadi batu loncatan yang membuatnya terbang melayang ke udara, tentunya tak lupa berpijak di atas bumi dengan seribu mimpi yang siap direalisasikan. Aamiin...
Sekian dulu lah...
Comments
Post a Comment