Sebuah Cerita Sederhana: Sakit

Aku menatap punggungnya yang menjauh di lorong gedung, ini kali kedua aku berdebar ketika melihatnya berlalu. Sebelumnya, ketika ia berbicara dengan bahasa diplomatisnya yang membuat sekeliling terpana, aku justru berdebar, berdebar hebat. Tapi seingatku, itu setelah lama aku memperhatikannya, yang entah mulai kapan. Sepertinya ada yang salah denganku, tak biasanya aku begini. Tidak pernah sebelumnya malah.

“Ki, ngeliatin apa, sih?” tegur temanku, Ara, tiba-tiba, membuatku terlonjak kaget.

“Kaget, tau…” ujarku seadanya sambil berlalu.

***

Baru saja aku mendapat pesan melalui ponselku, ucapan selamat bergabung oleh admin Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas. Sebulan yang lalu aku mendaftarkan diri, dan sepekan yang lalu aku menjalani tahap seleksinya. Cukup gembira, tapi biasa saja…

Aku cek lagi ponselku, di situ tertera undangan kumpul perdana, Kamis di sekretariat BEM, itu lusa. Baiklah, aku sudah cukup kenal dengan presiden BEM nya, dan beberapa kawan yang kemarin mendaftar, dan tak sulit bagiku beradaptasi dengan suasana baru, aku cukup supel dan menyenangkan. Saatnya beranjak ke kelas filsafat, kelas yang selalu membuatku pening.

***

“Ya, silahkan memperkenalkan diri,” kata seorang pria berkaca mata, dan berambut gondrong sebahu di pojok ruangan. Kudengar namanya Guntur, ternyata semengerikan penampilannya, tapi ia humoris, pintar membawa suasana, aku tersenyum.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh,” sapaku, dan segera dijawab serentak. “Perkenalkan, nama saya Miski Oktavilia, biasa dipanggil Miski, tapi boleh juga Okta, atau Lia, ya yang enak aja, lah.”

“Lahirnya pasti Bulan Oktober!” potong si gondrong, eh, si Guntur. Kujawab dengan acungan jempol,, “eh, kok, tahu? Perhatian banget…” candaku.

“Iya, dong, saya kan…”

“Sssh, lanjutkan, Miski,” kata Presiden BEM yang duduk di samping Guntur, seraya mendorong wajah Guntur agar diam. Aku tertawa kecil.

“Baik, saya dari FISIP, jurusan…”

“Assalamu’alaikum…” seseorang kembali memotong, semua wajah berpaling ke arah datangnya suara, begitu juga aku, dan ketika meihat si pemilik suara jantungku seakan berhenti berdetak.

Sepertinya wajahku pucat.

Perlahan kupulihkan wajahku.

Biasa saja, biasa saja. Batinku.

Ah sepertinya masih pucat. Aduh, Miski……

“Weh, bro Faisal, masuk, masuk…” kata suara yang lain. Aku masih tidak fokus. Tadi itu suara siapa, ya? Oh, Presiden BEM. Aku gelengkan kepalaku pelan, fokus, tarik nafas…..

Tenang Miski, nggak biasanya kamu begini.

“Dilanjut, ya?” Nah, itu suara siapa? Oh, itu suaraku. Entah apa yang membuatku bisa menggerakkan bibir. Lalu aku tersenyum dengan mudah, ketika semua perhatian sudah tertuju padaku, aku melanjutkan, “saya dari FISIP jurusan Sosiologi, asal Bogor, salam kenal.”

“Salam kenal, Miskiiii…” jawab sebagian orang secara serentak, senyumku semakin lebar. Sepertinya aku akan betah di organisasi ini, dalam hati terkekeh.

***

Tak terasa satu tahun hampir berlalu, terlalu banyak kenangan yang sulit sekali dilupakan dalam Kabinet ini. Rasanya sedih membayangkan kami semua harus berpisah, wa bilkhushush, dia. Tak begitu spesial memang hubunganku dengannya, hanya sebatas rekan kerja. Tapi ia telah membawa perubahan yang banyak bagiku. Aku mulai terbiasa pakai rok, karena aku tahu dia orang yang hanif, shalih. Aku mulai terbiasa melakukan amalan-amalan sunnah. Kesederhanaannya mengajariku banyak hal, dan dibalik kesederhanaannya ada kepala yang terus bekerja, berpikir, menganalisis. Bagiku dia adalah manusia langka. Wawasannya yang luas tak pernah membuatnya tinggi hati, selalu terlihat memukau, elegan, tapi tidak elitis.

“Miskiii!!” aku terbangun dari lamunanku, segera menoleh ke arah asal suara.

“Eh, hai, Ra, mau ke mana?” Ara berjalan mendekatiku, dan aku tahu kita akan bicara banyak meski di pinggir jalan. Aku dan Ara cukup banyak mengenal, meski dia beda jurusan denganku. Kami pernah satu kepanitiaan setahun lalu, dan ketika aku di BEM, dia berada di Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM). Tapi dia terlalu sibuk sehingga aku jarang bertemu dengannya.

“Mau kajian nih di Masjid Al Fattah, mau ikut?” tanyanya. Ah, sepertinya hari ini kita bicara singkat saja, Ra.

“Wah, pingin banget, tapi aku harus ketemu dosen…” jawabku sedih. Aku sedang mengurus tugas akhirku belakangan ini.

“Sip, nggak apa-apa, lain kali bisa,” jawabnya sambil tersenyum. Sesuatu menyelinap di hatiku, senang melihatnya tersenyum, seakan merasa damai. Kuacungkan jempol, lalu kami bersalaman, “assalamu’alaikum.”

Kulihat pundaknya menjauh. Ah, andai aku bisa berubah sesignifikan itu. Ara, wanita itu selalu membuatku iri, dengan jilbabnya yang lebar, dan pakaiannya yang selalu tertutup dari atas kepala sampai ujung kaki, kecuali wajah dan telapak tangan pastinya, ia tetap aktif di berbagai organisasi dan masih eksis di kalangan mahasiswa sampai saat ini. Kudengar dia hafizh qur’an, semakin membuatku iri. Ah, sudahlah, yang menilai kan Allah. Kita hanya perlu ikhtiar, terus menerus memperbaiki diri, berproses. Aku berusaha menghibur diri. Tidak mengapa jika iri dengan keimanan orang lain, bukan?

***

Ping.

“Ki, asyik, nih, sudah mulai kerja? Dapat di mana?”

Itu pesan dari dia, Faisal. Aku selalu berdebar ketika namanya muncul di BBM chat-ku. Belakangan ini kami semakin dekat, dan semakin intens berkomunikasi, ya, sudah 4 bulan terakhir ini. Kami suka bercerita, aku bercerita tentangku, dia bercerita tentangnya. Rasanya menguap semua kesalku ketika sudah bercerita. Dia seorang lelaki yang menghormati wanita, tak pernah merendahkan orang lain, membuat nyaman. Itulah bagian dari kesederhanaannya yang kusukai.

“Hehe, Alhamdulillah, diterima di bagian HRD, pemula hehe, ngurusin masalah orang, nih,” jawabku. Aku sekarang kembali ke Bogor, ingin dekat saja dari rumah. Setelah lulus setahun kemarin, aku baru mulai bekerja tetap sekarang ini. Sebenarnya Faisal cukup membantu, ia sempat mencarikanku perusahaan, atau tempat kerja yang sesuai, dia cukup mengenal Daerah Bogor, meski tinggalnya di Bandung. Perusahaan ini, salah satu saran darinya, dan aku nyaman bekerja di sini.

Ping.

“Mudah-mudahan nggak ikut bermasalah, ya *laugh*. Sekarang sedang apa?”

“Ya nggak ikut, udah bermasalah, sih *laugh*. Lagi nganggur, nih, kamu sendiri?”

“Kamu aja bermasalah, apalagi saya *not interested*. Sama, nganggur, masih libur soalnya *laugh*. Eh, mau cerita, nih,” jawabnya lagi, membuatku bersemangat. Aku selalu menanti-nanti ceritanya. Ceritanya yang ringan penuh makna, ceritanya yang berat kadang menampar-namparku, tapi aku setia saja mendengarnya. Entah mengapa, tak ada yang aku tak suka dari sosok lelaki ini. Bunga di hatiku semakin bermekaran saja dibuatnya. Bahkan di malam hari, ketika aku terbangun untuk tahajjud, kupintakan Allah mempertemukanku kembali dengannya suatu saat nanti. Entah bagaimana caranya, itu skenario Allah.

“Ah, selalu merendah, harusnya saya yang bilang begitu…” jawabku, “oohh, cerita apa? Siap-siap dengerin sampai selesai insya Allah *smile*.”

“*laugh* hmmm, dari mana ya mulainya…” jawabnya membuatku penasaran setengah mati.

Semenit berlalu.

Dua menit berlalu. Lalu nampak dia mengetik. Pasti panjang, aku beranjak dari kasurku menuju dapur, kucari makanan ringan yang tadi sepulang kerja kutaruh di kulkas. Aku baru ingat aku belum makan malam.

Ping.

Ah! Aku langsung berlari ke kamar, membuka password handphone, dan langsung terbaca, “saya menyukai seorang wanita, sampai bingung saya harus bagaimana, memikirkannya saja sudah membuat pening.”

Aku tertegun. Perlahan kujawab, “s,” sambil menarik nafas, “iapa…?”

Satu menit berlalu. Aku lupa dengan makanan ringan yang kubawa tadi. Sibuk menerka-nerka, dan sibuk membatin, kalau bukan aku, siapkah aku mendengarnya?

Ping. Aku terkejut, sedikit gemetar kulihat handphoneku, “kamu pasti kaget kalau saya beritahu.”
Setengah sadar aku mengetik, “beritahu saja, malah bikin penasaran kalau nggak diberitahu, hayo tanggung jawaaab…”

Ping.

“*laugh*,”

Ping.

“Kamu sangat mengenalnya, Ki. Namanya Ara,”


Seperti guntur di tengah sunyi. Aku terkejut. Aku sangat terkejut. Sudah kuduga. Dan yang membuatku semakin terkejut adalah, aku sanggup melihat jawabannya setelah sepersekiandetik kudengar bunyi notifikasinya. Setengah menit kemudian, air mataku menetes, satu menit kemudian, semakin deras.

***

***

***

Kau tahu? Aku tak pernah menyukai sebuah confession, setiap pernyataan tentang perasaan cinta antar lawan jenis selalu menyakitkan. Kecuali bagi seorang suami kepada istrinya, dan sebaliknya.

Maka, simpanlah perasaanmu sebaik mungkin. Setidaknya jangan kau tegaskan tentang perasaanmu, karena itu mengganggu. Mengganggu orang yang kau cintai, mengganggu orang di sekelilingmu, mengganggu orang yang mencintaimu. Simpan saja, hormati orang yang menjaga perasaan cintanya padamu, mereka sudah mati-matian menjaganya, menjadi konsumsi pribadi. Lalu dengan mudahnya kau patahkan arang karena ktidaktahuanmu. Hati itu rapuh. Serapuh daun kering yang kuinjak di jalan menuju kampus.

Serapuh diriku yang selalu menyesal.

Rabbanaghfirlanaa wa liikhwaaninal ladziina sabaquuna bil iimaan, wa laa taj’al fii quluubina ghillal lilladziina aamanuu Rabbanaa innaKa Ra-uufur Rahiim…

Comments

Post a Comment

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita