Lilin di Sudut Gelap (1) - Sebuah Cerbung



Selamat malam cinta, kembali aku menemukanmu, dalam tumpukan bukuku. Lembar demi lembar kuhabiskan sudah, kadang tawa meledak, meledek diriku sendiri, kadang kernyitan dahi tak dapat terbendung, kadang tanda tanya besar menyapa, kadang teriris hatiku, menyapu habis tulisan kecilku di atas banyaknya ragam buku yang kukumpulkan. Kusebut dulu, diary.


***


“Sudah pernah bujuk ayahnya datang?” Tanya Pak Warno, wakil kepala sekolah, sambil terus memilin janggutnya yang hanya tujuh lembar. 


“Hmm, Bapak, kan, tahu ayah saya tipikal pemalu. Kalau belum ada uang di tangan, mana mau beliau ke sini, Pak. Setahun terakhir saya sulit menghubungi beliau,” Jawabku hampir putus asa. Pak Warno hanya mengangguk, sekilas kulihat wajahnya memberikan ekspresi prihatin, atau mungkin berusaha untuk terlihat prihatin. Aku mengalihkan tatapanku, menyaksikan barisan semut yang sedang berjuang memindahkan butir-butir gula dari atas piring menuju kaki meja. Sepintas ingin kuajak bicara semut-semut itu, bagaimana kalian bisa terus bersama, saling support, meski tiap kalian memiliki beban yang sama? 


“Hmm, ya, sudah, ini berikan saja pada wali kelasmu, supaya raportmu bisa diambil,” aku agak terkejut, tak sadar beliau sudah mengambil surat rekomendasi kecil, dan menandatanganinya. “Ingat ya, Fasya, yang namanya rezeki itu sudah diatur, dan yang namanya hidup, naik turun. Bayangkan kau naik ke atas gunung, penuh perjuangan bukan? Terkadang ketika sudah sampai di puncak, ada yang terlena, sampai-sampai ia sadar banyak yang belum ia siapkan untuk hidup di puncak, akhirnya tersiksa pula ia di puncak. Atau ia yang belum sampai puncak sudah menyerah, karena takut mengambil resiko lelahnya. Maka yang bijak adalah, ia yang berusaha dengan sekuat tenaganya, ikhtiar dan tawakkal, dan ketika sudah di puncak, tak lupa ia pada lembah, tempat tinggalnya. Bahwa manusia tercipta dari tanah, dan akan kembali ke tanah. Biarlah hidup di lembah itu membuat kita lebih bijak berpikir, dan mempersiapkan ketika sewaktu-waktu Allah berikan kesempatan untuk merasakan indahnya puncak.”


Aku baru sadar dari tadi mengerutkan dahi, karena aku perlu mencerna baik-baik nasihat Pak Warno, kau tahu, ketika menasihati suara beliau sayup-sayup, dan ritmenya sangat pelan, kadang terputus-putus. Kutarik ujung bibirku sedikit, “insya Allah, Pak,” kataku sembari mengambil surat rekomendasi kecil itu. 


“Saya doakan semoga diberikan kekuatan, ya...” katanya lagi.


“Terima kasih banyak, Pak, mohon maaf merepotkan...”


“Ah, tidak,” Pak Warno berdiri mengikutiku keluar dari ruangannya. Kuucapkan salam, tak enak juga diantar sampai depan pintu, aku seperti tamu penting saja, padahal apalah aku, serpihan kaca jendela yang terinjak-injak di lorong sekolah akibat anak-anak nakal tak bertanggung jawab menendang boal seenak udelnya.


Kini aku berdiri di depan kelasku, ini yang paling tidak aku suka. Mengambil raport sendiri, karena rekomendasi pula. Sudah lebih dari 5 kali aku seperti ini. Ayahku sudah menunggak SPP selama dua tahun satu semester, dan aturan di sekolahku, jika belum membayar SPP, raport tidak bisa diambil. Tapi pada akhirnya aku masuk juga. Kulihat wali kelasku duduk sendiri di depan kelas, kulongokkan wajahku, “assalamu’alaikum, Ibu...”


“Eh, wa’alaikumussalam, Fasya, ayo masuk,” jawabnya tersenyum, ramah sekali. Entah apa yang membuat guru-guru di sekolah ini memiliki wajah menyenangkan. Ah, bukan hanya wajah, ucapan-ucapan mereka juga menyejukkan hati. Setidaknya menenteramkan jiwaku yang kacau balau ini.


“Seperti biasa, Bu...” aku melangkah masuk, menarik ujung bibir agak lebih lebar dari sebelumnya. Kusodorkan surat rekomendasiku dengan kedua tangan, seperti seorang anak yang menyodorkan tangannya untuk dipukuli karena habis mengajak temannya berkelahi. Bu Sona, wali kelasku, tertawa. Ibu kenapa tertawa, membuatku ingin menangis saja...batinku.


“Coba tebak kamu ranking berapa sekarang?” tanyanya, surat rekomendasiku sudah berpindah tangan. Bu Sona tidak meliriknya sama sekali, ia menyimpan suratku di bawah tumpukan kertasnya. Matanya masih menatapku hangat. Aku menggeleng demi menjawab pertanyaannya. Beliau menghela napas, membuatku malah menahan napas. Siap-siap kecewa berat...


“Ranking tiga, kau harus punya daya yang lebih besar untuk mengalahkan Wulan dan Zakiya,” lanjutnya, membuatku terbelalak, dan sedikit menurunkan rahang bawahku. Ah, ternyata banyak. Beliau kembali tertawa.


“Ibu, serius...?” tanyaku tak percaya. Beliau tersenyum, telunjuknya mengarahkan mataku melihat daftar ranking kelas IPA-1 yang sedari tadi dibuka dan aku tak sadar. Aku semakin membelalak. “Allahu Akbar...” gumamku masih berusaha sadar.


Wulan dan Zakiya memang terkenal sangat cerdas dan pintar, keduanya selalu masuk peringkat terbaik paralel di sekolahku, menyaingi 247 siswa, dan di kelasku, ada dua orang yang lain yang cukup kuat daya tahannya, Angga dan Sayuti. Angga, satu-satunya lelaki yang selalu masuk 5 besar. Pernah aku melampauinya, dan kini aku betul-betul melampaui keduanya. Meski belum bisa kukalahkan Wulan dan Zakiya, juara Olimpiade Sains Nasional 2 tahun berturut-turut di bidang Kimia dan Fisika. Wajar, aku yang belum pernah ikut OSN ini terkejut setengah mati melihat nilaiku yang hampir berimpitan dengan rerata nilai Wulan.


“Alhamdulillah, tapi harus ditingkatkan lagi, ya, pasti bisa,” Bu Sona mengalihkan keterkejutanku. Aku mengangguk-angguk setengah sadar. Kemudian mulailah aku bercerita panjang pada ibu keduaku ini, kuceritakan bagaimana perjuanganku satu semester ini, dan kemungkinan-kemungkinan yang membuatku mendapat nilai yang cukup tinggi, naik cukup signifikan dari semester kemarin. Bu Sona mendengarkan dengan penuh seksama, full perhatian seperti biasanya.


***


Matahari sudah hampir menuju peristirahatannya, langit mulai jingga, tapi perjalananku menuju rumah di desa kecil di daerah Leuwiliang masih cukup jauh. Selama SMP sampai SMA aku memang tinggal di salah satu rumah saudara jauh dari Ibu di Jakarta Utara. Keseharianku bekerja membantu Tante Murni untuk memenuhi kebutuhanku sendiri, tapi tak pernah bisa menutupi SPP-ku setiap bulan, karena habis untuk ongkos dan biaya-biaya terduga maupun tak terduga lainnya. Ini kali kedua aku pulang ke rumah setelah berpisah lama dengan kedua orang tua dan 4 adikku. Besok hari pertama Ramadhan sekaligus hari pertama libur panjangku di rumah.


Bis menyusuri perbukitan, masih satu jam dari rumah, dan aku mulai tak sabar ingin melepas rindu. Adik-adikku, sudah dua tahun lamanya tak kutemui, sudah seperti apakah mereka? Adik lelakiku yang kelas 3 SMP, sudah setinggi apa dia? Kunikmati maghrib itu sambil melantukan dzikir sore, kadang ulu hatiku terasa sakit saking kencangnya jantungku berdegup.


Allahumma Anta Rabbi, laa Ilaaha illaa Anta khalaqtanii...


***


“Teh Fasyaaaaa...” teriak percil-percil—peri kecil, begitulah aku menyebut mereka—yang tengah bermain di halaman rumah. Kupeluk mereka satu-satu, rindunya....


“Aisya, Fahira, Aulia...” kusebut nama mereka, “A Umar mana?” tanyaku sambil tak lepas tatapan sayangku di mata-mata indah mereka. Aulia, adik terkecilku, menunjuk ke arah mushalla di ujung jalan sana. Ah, ya, sudah maghrib.


“Eh, iya, anak kecil nggak boleh di luar maghrib-maghrib...” ucapku sambil mengajak percil-percil ini masuk ke dalam rumah.


“Emang kenapa, Teh?” tanya Aulia dengan wajah polosnya, umurnya yang sudah 9 tahun membuatku agak pangling dengan wajahnya 2 tahun lalu, ada yang berubah, semakin cantik.


“Kata Ibu banyak setan kalau maghrib,” sambar Fahira sambil menarik tanganku. Aulia bergidik, memeluk tanganku erat. Aku hanya tertawa, kehabisan kata-kata untuk menjawab secara rasional. Jadilah aku bergegas membawa mereka masuk ke dalam rumah.


“Assalamu’alaikum...” ucap percil-percil ini serempak sambil membuka pintu rumah. Tak ada yang berubah, hanya beberapa tanaman di halaman rumah, dan tata ruang tamu yang dulu tanpa bangku, sekarang sudah ada bangku dan meja, entah kapan dan siapa yang menaruh. Aku segera masuk, mencari sosok yang kurindu, Ibu.


“Ibuuuu, Teh Fasya pulaaang,” teriak Aulia lagi, aku letakkan telunjukku di atas bibir, mengisyaratkan untuk tidak berteriak, mungkin Ibu sedang shalat. Aku menengok ke kamar tidur Ibu, dan betul, beliau sedang shalat. Aku duduk di ruang tengah yang sekaligus sebagai ruang penghubung antara kamar satu dengan kamar berikutnya, juga ruang tamu dan ruang makan. Rumah kecil sederhana yang selalu menghangatkan. Kebetulan aku sedang tidak shalat, maka kutanya adikku satu-satu, “ayo sudah shalat beluuum..?”


“Oh, iya, beluuuum....” jawab Aulia sambil memegang keningnya, membuatku tertawa keras. “Ayo, Teh, shalat...” ajaknya. Aku semakin bingung dibuatnya, apa dia mengerti jika kukatakan aku sedang tidak shalat?


“Hmm, Teh Fasya lagi nggak shalat,” jawabku sekenanya, lebih karena bingung harus menjawab apa.


“Teh Fasya lagi haid, ul. Lagi keluar darah,” sambung Aisya. Aku mengernyit, memberi isyarat, emang dia paham? Aisya hanya mengangkat bahu.


“Ooooh, kayak Teh Aisya...” kata Aulia, bibirnya membulat, aku terkejut.


“Aisya udah......?” aku menggantungkan pertanyaan, tiba-tiba wajah Aisya memerah dan memalingkan wajah, kembali aku tertawa keras, “ciyeeeee, barakallah, hahahaha.” Semakin kecutlah wajah Aisya, membuatku semakin senang meledek. Akhirnya, aku tak perlu menjelaskan panjang lebar dan berbelit-belit pada Aulia, Aisya pasti sudah melakukannya.

***


“Bu, Ayah ke mana?” tanyaku pada Ibu setelah melepas rindu pada Ibu. Kami kini berada di ruang makan (sekaligus dapur), aku mengupas bawang untuk makan malam, Ibu sedang memotong kacang panjang. Guratan cantik di wajahnya tidak dapat menutupi gurat lelah dan sedihnya. Beliau menghela napas agak keras, mataku kembali melihat bawang di tanganku.


“Lima bulan ini belum pulang, Sya. Terakhir katanya dapat job di Cilegon,” jawabnya pelan, sedikit acuh tak acuh. Alisku bertaut, “iya, bu? Kok, Fasya nggak pernah dikabari?”


 “Kabari pakai apa? Nggak sempat ke wartel, Sya..”


“Setidaknya, Bu, pakai surat kan bisa. Fasya, kan, juga bisa bantu tanya-tanya teman yang rumahnya di Cilegon,” jawabku agak ngambek.


“Apalagi surat, ke wartel saja nggak sempat. Lagian kamu pikir Cilegon cuma sepelataran?” tanggap Ibu agak becanda sambil memberi senyum meledek. Aku masih tidak terima, “tapi sudah lima bulan, Bu. Kabar terakhir gimana? Job apa?”


“Terakhir mengabari itu 4 bulan yang lalu. Nggak bilang juga dapat job apa, waktu itu buru-buru sekali,” jawab Ibu, pandangannya fokus pada kacang panjang di tangannya. Sekilas kulihat beliau menghindari tatapanku.


“Terus, waktu mengabari itu Ayah bilang apa?”

“Ya, bilang, ‘sabar, ya, Bu, nanti Ayah kirimi uang ke sana, Ayah sehat-sehat saja,’” jawabnya, “tapi nggak pernah kirim uang, dan 4 bulan terakhir nggak ada kabar.” Aku menghela napas panjang, bawang yang harus dikupas sudah habis, tapi tanganku rasanya ingin beraktivitas, akhirnya aku hanya memotong-motong kecil kulit bawang. Hening seketika, lima menit kira-kira lamanya. 

“Sya, ambil gula jawa,” kata ibu memecah sepi, mengagetkanku. Aku bergegas mengambilnya. 


--------to be continued

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita