Sang Surya

Ketika air tak lagi menyuburkan tanah-tanah itu, di situlah kusadar betapa teriknya mentari. Ketika yang memancarkan kehidupan malah menghancurkan, di situlah kutahu kebodohanku membuatnya liar. Banyak manusia tak paham, bahwa mengeringnya mata air, tak lagi tertahankan panasnya mentari, lapis-lapis pelindung menipis, adalah buah perbuatannya pula. Lalu mereka tersedu, meminta Tuhan berbaik hati padanya, mengembalikan kehangatan sang surya di pagi dan siangnya. Kadang mereka mengutuk, betapa nasib buruk menerpa bak badai yang tiada henti dan tak teratasi, seakan tubuh siap diterkam maut. Mengapa nasib buruk ini datang menghampiri?

Ketika gumpalan putih di langit sana menebal, menyatu dan menghitam, menciptakan panik dan takut yang tiada terkira. Hujan badai akan tiba, teriak mereka. Padahal ialah air yang membantu kehidupan, penyejuk sementara, menyirami tanah-tanah gersang, berkawan dengan sang surya yang penuh kasih padamu. Padahal absennya membuatmu gelisah, memohon pada yang Kuasa sembari bercucur air mata, turunkan rahmat-Mu...

Ketika manusia menyadari jiwa manusianya. Bahwa nafsu tak pernah membawa tenteram, bahwa rakus menjadi sifat permanennya. Justru hanya meratap yang bisa dilakukan. Seakan imannya tak lebih kuat dari nafsu. Yakinnya tak lebih kuat dari ragu. Teguhnya tak lebih kuat dari rapuh. Maka siapa yang dapat menolong?

Manusia hanyalah sepasang mata yang memilih, sepasang telinga yang memilih, sepasang tangan yang memilih, dan sepasang kaki yang memilih. Apakah dilakukan hal-hal yang yakin, atau menjatuhkan diri pada keraguan. Apakah bangkit menjemput nikmat, atau hancur bersama keterbatasan. Manusia hanyalah seonggok daging yang diindahkan bentuknya, setetes hina yang disempurnakan rupanya. Maka yang beriman itulah yang paling baik di antara kamu. Ingatkah seringkali Tuhan berfirman yang demikian?

Maka, jadikan iman itu penyubur tanah-tanahmu, kawan sang surya yang menyejukkan langkahmu. Bahwa derasnya hujan tak pernah menghilangkan sang surya. Ia masih di sana, menunggu pengatur awan menyingkap langit, mempertemukanmu dalam hangatnya. Ia masih di sana, dalam resah, dalam tenang, tak kan mengubah keadaan. Bahwa derasnya hujan akan melukiskan keindahan, pelangi, lahir dari cahaya mentari, memukau, melunakkan yang beku. Yakinlah...

Tak ada yang lebih indah dari bersyukur.

Tak ada yang lebih berharga dari beriman.

Percayalah, akan indah pada waktunya, sebagaimana skenario langit menyingkap pelangi, menerangkan dari yang gelap, gelap yang menghidupkan.


***

Diri yang merindu, pada hangat dan ramahnya mentari.
Mengenang hati kecil nan suci, yang tak menangis kecuali karena cinta-Nya.
Meyakinkan diri, bahwa tak pernah Allah tinggalkan hamba-Nya yang ingin kembali.
Kembali pada kema'rufan, kembali pada ketawadhu'an, kembali pada kendali penuh ikhtiar dan tawakkal. Melarikan diri dari nafsu yang bergemuruh, mematikan nalar, menodai langkah, menjauhkan ghiratul ishlah.
Allahummaghfirlanaa...

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita