HCl 37%

Ini soal asam klorida (HCl) yang membuat peneliti kebingungan. Kebingungan menjawab pelarut apakah yang sebenarnya digunakan. Hingga titik kritis, peneliti yang sedang mempresentasikan hasil penelitiannya harus keluar dari ruang seminar untuk melihat label yang tertera di kemasan HCl pekat. Apalah daya, pertanyaan peserta seminar telah membuatnya mati gaya, harus jawab apa? Dan ketika gagang pintu sudah di tangan, dorongan dari dalam diri untuk menekan gagang ke bawah dikalahkan oleh ingatan yang lebih dulu terdesak dan terdorong keluar. Dan kalimat itu mengalir deras.

Astaghfirullah. Maksud saya, saya membuat HCl 0,1 N dengan cara mengambil 8,5 ml dari HCl pekat 37% lalu dilarutkan dalam 1 Liter akuades, Bu.”

Lalu dijawab oleh penelaah, “naaah, ya kalau yang dibuat HCl 0,1 N sebagai pelarut. Masuk akal kamu mengambil 8,5 ml dari HCl pekat. HCl pekat itu ya 37% itu, asam sulfat pekat itu 98%.”

Lalu dalam hati, si peneliti membentuk ekspresi paling datar sedunia. Please, berapa ratus kali lu nulis HCl 0,1 N sejak awal usulan penelitian hingga menjelang seminar? Bisa lupa? Aneh. Aneh. Aneh!

Seperti itulah sepenggal kisah HCl 37% yang menghabiskan waktu cukup panjang untuk diperdebatkan. Ia terkenang. Hingga seminar usai, peserta masih saja asyik membahasnya, “untung ada fase kamu teringat dulu sebelum keluar dan turun ke lantai satu untuk melihat kemasan. Hahaha.”

Ya, memang hahaha. Sering memang yang kritis itulah yang terkenang, yang kritis itu yang membuat tertawa ketika mengingatnya. Lalu bagaimana nasib HCl? Ia masih tertegun di dalam lembar pembahasan. Sejak ia digunakan dalam penelitian, ia bertanya-tanya, mengapa padatan asam harus dilarutkan dalam asam? Mengapa tidak menggunakan etanol yang jelas-jelas mudah melarutkan? Mengapa tidak melanjutkan natrium hidroksida sebagai pelarut? Tenang, itu semua beralasan. Seperti hidup ini, semua beralasan. Kita hidup beralasan, kita ibadah beralasan, kita berteman beralasan, kita belajar beralasan, kita mandi beralasan, kita tidur beralasan, kita rindu pun beralasan. Pasti. Ah, ya, saya rasa omong kosong jika ada yang mengatakan, “cintaku tak berasalan”. Bahaya sekali, ia bisa jatuh cinta pada siapapun tanpa sebab.

Ya, karena semua bersebab. Oleh karenanya kita diminta untuk berpikir. La’allakum tatafakkaruun, firman Allah. Nah, si peneliti akhirnya berpikir, alasan apa yang akan ia gunakan dalam penggunaan HCl sebagai pelarut, dan alasan ala-ala panik seperti “etanol mahal”, “etanol mudah menguap”, sudah ditolak mentah-mentah oleh penelaah. Peneliti ini memang terkadang dodol, ia berbicara sambil lupa momennya, apalagi ditambah di saat sepenting itu apa-apa yang muncul di kepala kadang di luar jalur yang seharusnya. Alasannya harus se-ilmiah mungkin, dong. Hingga keluarlah alasan sebenarnya. Sambil mengutuk diri sendiri, kenapa keluarnya selalu di akhir, sih? Yah, baiklah, apa yang keluar dari lisan memang tidak dapat ditarik lagi. Tidak ada undo dalam pengucapan, atau edit seperti caption di Instagram. Apalagi puluhan telinga mendengar. Maka menginsyafi yang paling tepat adalah dengan tersenyum.

Jadi, mengapa serangkaian kisah HCl ini bisa terjadi? Itu semua diawali dengan kesalahan lisan. Sekali berucap, maka persepsi akan menderas sepersekian detik setelah neuron dari saraf pendengaran mentransimiskan impulsnya untuk diterjemahkan, sekalipun ucapan diralat, persepsi yang muncul pertama tak mudah hilang. Hati-hati dengan lisan.

Setelah itu peneliti belajar dari kesalahannya, tidak ada lagi gegabah. Beruntunglah si peneliti karena kisah pelarut yang berlarut-larut tak merembet kepada kisah yang lain. Dan di akhir, nampaknya penelaah puas-puas saja dengan jawabannya—pasca bicara soal HCl. Mari kita ukir akhir yang lebih baik, mari berdamai, wahai HCl.

Demikianlah kisah HCl dan peneliti yang jetlag akibat maju lebih awal dari jadwalnya, karena penelaah minta dua presentasi diparalel. Tetapi akhir tetaplah bahagia. Karena rencana Allah selalu indah, selalu yang paling baik. Saatnya makan-makan…

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita