Lilin di Sudut Gelap (2) - Sebuah Cerbung
“Semalam
tidur jam berapa?” tanya Hendro, teman sekelasku. Mungkin melihat mataku yang
sayu.
“Seperti biasa, jam 2,” jawabku
sekenanya. Hendro memasang wajah yang paling heran yang pernah aku lihat,
“seperti biasa??” tanyanya. Aku hanya mengangkat pundak.
“Ya ampun, jadi setiap hari kamu
tidur jam 2 pagi???” tanyanya lagi dengan gaya yang sangat hiperbola menurutku.
Aku meliriknya sebentar, memberikan tatapan ‘please, aku lagi nggak mau diganggu’.
Hendro segera bergegas keluar
ruangan dengan ekspresi bernafsu mengumumkan habitku ke seluruh seantero
sekolah. Tak begitu peduli, aku kembali membereskan angka-angka di atas kertas
A4, hasil fotokopi buku soal-soal ujian temanku. Aku tak sempat membeli yang
baru. Kemarin 3 buku soal matematika sudah kuhabiskan, padahal tipe soalnya
mirip-mirip bahkan banyak yang sama persis, tapi aku tetap saja mengerjakannya.
Aku suka matematika, di atas kesukaanku pada fisika. Tiga hari yang lalu, di
hari Senin, Bu Sona mengajakku berbicara. Beliau memberi saran agar aku
mengikuti ujian masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS). Aku cukup tertarik
karena biaya full dicover oleh instansi, dan setelah lulus
karirku sudah jelas. Meski ada keinginan untuk memperdalam matematika murni di
Universitas Indonesia.
“Tuh, wan, kelakuan banget, sekarang setiap malam tidurnya jam 2 pagi, masa,” suara
Hendro menghentakkan kepalaku, betul dugaanku, dia berniat mengumumkan ke
seluruh siswa dengan suaranya yang toa itu. Tatapanku sudah siap menelan
suaranya, tapi justru aku yang tercekat, ia datang membawa Wawan, Ketua Kelas
IPS-1. Dahiku mengernyit gugup. Wawan dengan santainya duduk di bangku depan
mejaku, menatapku sedikit, kemudian mengalihkan tatapannya ke tumpukan kertas
di hadapannya.
“Karena ini kamu tidur dini
hari?” tanyanya sambil menunjuk kertas-kertasku. Aku berkedip gugup, kemudian
tersenyum meringis. Ia menggelengkan kepalanya, “Sya, kamu itu sudah pintar, ngapain belajar sampai sekuat itu? Sudah
mending kita makan di kantin, yuk,” lanjutnya sambil menarik pensil di
tanganku, meletakkannya di atas kertas-kertasku, tanpa menarik tanganku ia
berdiri, memberi tatapan ‘ayo ikut aku’. Ia agak berbeda dengan yang lain,
kadang teman lelakiku sengaja menarik lenganku, membuatku memberi tatapan
kesal, kemudian mereka tertawa-tawa. Atau ada yang menghormati prinsipku tapi
dengan kesan meledek. Wawan tidak begitu, ia betul-betul menghormatiku.
Membuatku agak segan memang.
“Wan, kamu makan saja sama
Hendro, aku lagi puasa insya Allah,” kataku sambil tersenyum tipis. Kulihat
alis Wawan sedikit terangkat, “ah, kamu, ndro, nggak bilang kalau Fasya lagi puasa, kan, aku jadi nggak enak ngajakin makan,” ucapnya sambil melirik Hendro kesal, sedikit
tersirat malu. Aku tersenyum, “santai saja, Wan...” Hendro malah cengangas-cengenges minta kulempari
bangku. Sahabatku yang satu ini memang lucu, sering membuatku kesal, tapi
wajahnya yang lucu sepaket dengan ekspresinya sering pula membuat kesalku
luntur seketika.
“Aku sih sudah tahu, Wan, kamu
kurang perhatian berarti sama Fasya,” balas Hendro.
“Oh, iya, besok-besok lebih
perhatian lagi, deh,” kata Wawan, membuat dadaku tiba-tiba seperti tersengat listrik, dengan santainya dia
berlenggang keluar kelas sambil melambaikan tangannya padaku, “ke kantin dulu,
ya, Sya...” tersenyum.
Tatapanku terpaku beberapa menit
di pintu kelas. Dia bilang apa tadi?
***
Pengumuman
itu keluar!!!
Tapi
kau takkan melihat ekspresiku segirang tanda seru itu. Aku memandangi papan
pengumuman yang jauhnya sekitar 5 meter dariku, itu karena saking ramainya
papan tersebut dikerumuni. Entah mengapa tim Ujian Nasional memutuskan memajang
daftar nilai 300-an siswa di papan pengumuman, aku tidak begitu tertarik.
Mungkin sehabis isya nanti aku baru bisa melihatnya. Huh...
Lelah
menunggu 15 menit yang sia-sia, aku melangkahkan kaki, berniat menuju kantin
saja. Tiba-tiba langkahku terhenti karena tarikan keras di lenganku. Hendak
marah rasanya, sayang, yang menarik adalah Rossa, teman kecilku yang sudah
kuanggap sebagai saudara sendiri, semacam saudara kembar, karena kebetulan kita
lahir pada tanggal yang nyaris sama, tinggal di rumah yang juga nyaris sama.
Kuceritakan nanti, karena aku menyesal tidak bisa marah, padahal ingin sekali
marah.
“Apa, sih, Roooos, Masya Allah...” teriakku. Aku hanya bisa berteriak, dan
teriakanku malah membuatnya semakin keras menyeretku. Tanpa berkata-kata, dan
tidak juga berkata-kata sampai kita berhenti.
“Tuh,
lihat!” katanya seperti orang menghardik. Tangan kirinya berkacak pinggang,
sementara tangan kanannya menunjuk papan. Aku tidak sadar tadi menerobos
kerumunan yang sedari tadi enggan sekali kudekati. Mataku akhirnya mengikuti
arah telunjuknya. Ah, ternyata yang dipajang di papan pengumuman adalah
nama-nama siswa yang mendapat nilai sempurna di mata pelajaran yang di UN-kan.
Kulihat namaku berada pada deretan nama-nama itu. Bukan hanya satu, tapi dua
mata pelajaran. Apa? Kimia?? Kalau
matematika, wajar, dan semua memaklumi, tapi kimia?
“Waktu
itu kamu bilang kamu paling nggak
suka sama kimia, itu buktinya???” ucap Rossa emosi. Aku heran kenapa dia emosi.
Lalu mataku tiba-tiba menangkap nama ‘Rossana Wulandari’. “Hey, hey,” kataku,
“kamu bilang kamu paling nggak suka
bahasa Indonesia, itu nilaimu bisa 100?” tanyaku sambil mengangkat alis sebelah
kanan. Dia melirik papan sedikit, “itu bukan apa-apa,” jawabnya.
“Hello,
Rossa, sudahlah,” kataku menyerah. Aku mundur sedikit, “aku ingin ke kantin.”
“Sebentar, traktir aku makan,
ya...ya, ya...” katanya memelas. Aku hanya membalas dengan tatapan datar, lalu
meninggalkannya. Ia mengikutiku sambil berlari. Tahu betul bahwa diamku adalah
“iya”, atau tatapan datarku adalah jawaban pasrah.
Aku melangkah malas ke kantin,
mengambil pisang gulung kesukaanku, sedangkan Rossa menuju lemari pendingin,
mengambil ultramilk strawberry dan coklat, lalu menuju counter pemesanan. Sebentar,
sebentar, aku hanya mengambil pisang gulung, kok, bisa-bisanya dia memesan
makan, pasti mie ayam, dasar nggak tahu diri, mentang-mentang ditraktir. Ia
melenggang santai di depanku, memberikan susu kesukaanku sambil cengar-cengir.
“Kok, mukanya ditekuk gitu, sih?
Dapat nilai bagus harusnya senyum dooong,” katanya sambil mencubit pipiku. Aku
menepis tangannya pelan. Mood-ku
sedang kurang baik, kurasa ia dapat menangkapnya.
“Tenang saja, aku yang traktir,
hahaha,” ucapnya, berusaha mengembalikkan mood-ku.
Ah, justru semakin merusak suasana.
“Aduh, bukan itu, nggak apa-apa aku yang traktir, kan, aku
yang syukuran,” jawabku agak melunak. Dahi sahabat kecilku ini berkerut, ia
mencondongkan tubuhnya ke arahku, “terus kenapa...?”
Malas sebetulnya aku ditanya
olehnya, entah mengapa aku yang malas dan bukan dia, padahal nantinya dia yang
akan mendengar ocehanku yang kemungkinan besar tanpa henti ini. Rossa masih
saja menatapku penuh perhatian, hampir menguapkan seluruh kesalku. Mengapa
banyak kutemukan orang-orang baik dan berwajah ramah seperti ini di dunia? Oh,
Allah...
Aku menghela napas dan mulai
bercerita.
***
Tiga puluh menit yang berharga
bagiku. Ya, meluapkan isi kepala yang terasa crowded, sekarang menjadi ringan begitu saja. Kuceritakan pada
Rossa, sahabat kembarku yang tingginya 3 cm lebih tinggi dariku, dan tubuh
tipisnya itu begitu menenangkan ketika mendengar celotehanku yang panjang dan
cepat. Kuceritakan kesalku yang terpendam beberapa bulan ini. Banyak sekali yang mengganggu pikiran, dari
urusan rumah hingga urusan hati.
“Beliau itu, kan,
tetap ayahmu, husnuzhan saja beliau sedang berjuang menafkahi keluarga. Doakan
biar sukses, diridhai oleh Allah…” kata Rossa bijak, tumben sekali, biasanya
aku yang bicara sok bijak begitu.
“Nah, kalau soal
Wawan itu, ah, sudahlah, mengaku saja padanya,” lanjutnya sambil mengedipkan
mata genit. Aku mendelik, “apa sih, kok, malah disuruh mengaku, memang aku
salah apa?”
“Loh, biar kamu
juga tenang, kan? Daripada uring-uringan nggak
jelas,” Rossa tertawa kencang. Dia sepertinya senang sekali mendengar ceritaku,
cerita yang ia tunggu-tunggu. Aku tak pernah bercerita tentang ini sebelumnya,
sejak kita sama-sama sadar bahwa kita tumbuh besar bersama. Aku termasuk yang
paling tenang mengenai masalah ini di antara kita berdua, dan di antara sekian
teman kumpul bareng kami. Karena aku
cenderung lebih senang menyimpan perasaan. Aku sudah mengagumi Wawan sejak
mengenalnya di Masa Orientasi Sekolah dulu. Kepribadiannya unik, cerdas,
pembawaannya santai tapi tegas, dan yang menarik, dia suka sekali melukis.
Tidak ada yang tahu
aku mengaguminya, yang kemudian perlahan aku rasa bukan lagi hanya kagum, lebih
dari itu. Inilah yang baru saja aku ceritakan kepada Rossa, karena aku merasa
terganggu dengan perasaanku sendiri. Rossa dengan seenak udelnya malah menyuruhku mengaku pada lelaki itu. Aku tidak sejahat
itu.
“Kenapa? Kamu masih
menganggap itu adalah sebuah kejahatan?” tanya Rossa. Ia menyeruput sisa kuah
mienya. Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi, memejamkan mata,
“jelas,Ros…” gumamku.
“Kenapa sih, kok,
kejahatan? Nggak ngerti aku.”
“Hati itu urusan
Allah, Ros, siapa yang tahu kita akan dipersatukan dengan siapa nantinya.
Sekarang kamu bayangkan, kalau aku mengaku suka pada si bocah itu, lalu itu
mengusik hatinya, dan ia jadi suka padaku juga…”
“Eiiits, kamu, kok,
pede betuuuul,” potong Rossa,
wajahnya sudah siap meledekku.
“Kan, kalau, aku
sedang menyampaikan kemungkinan-kemungkinan. Karena menyatakan perasaan itu
mengusik hati, Ros. Coba kamu, kalau tiba-tiba si Wawan datang dan mengatakan
bahwa dia suka padamu, apakah kamu akan tenang-tenang saja? Pasti perasaanmu
juga terganggu. Hanya ada dua pilihan, kamu tidak suka lalu menjauhinya, atau
berdebar hatimu,” kataku, aku mulai malas menjelaskan.
“Hm, hm, hm,
baiklah…lalu letak kejahatannya di mana?” tanyanya, nampak masih mencari
kesalahanku, ingin kutimpuk saja orang ini dengan sepatu.
“Aku misalkan itu
kamu, Ros, melanjutkan yang tadi. Sebut saja si W itu Mawar,”
“Eh, kok, Mawar
sih, Sya? Dia, kan, laki….” Potongnya lagi. Aku melambaikan tangan menyuruhnya
berhenti.
“Dengar dulu. Mawar
tadi menyatakan perasaannya padamu, lalu hatimu terusik, perlahan kagetmu itu
berubah menjadi sesuatu yang indah. Manis rasanya, dan kamu ingin ia
mengulanginya lagi untuk memastikan. Lalu ia mengulanginya, dan entah mengapa
secepat itu hatimu berubah jadi taman bunga. Aku tanya dulu, itu mungkin atau
tidak? Jujur saja,” tanyaku.
“Kalau itu si Wa,
eh, si Mawar, mungkin saja, tampan sih, hahaha,” jawabnya sambil terpingkal.
Aku menghiraukannya dan melanjutkan, “oke, suatu hari, setelah kalian sama-sama
tahu tentang perasaan di antara kalian, lalu kehidupan terasa lebih indah dari
sebelumnya. Saat itu, ada yang datang pada bapakmu, seseorang yang shalih,
tampan, dan yakin untuk meminangmu. Apa yang akan kau lakukan?”
Rossa yang tadinya cengar-cengir perlahan terlihat bingung,
“wah, berat, Sya……….” Membuatu ingn tertawa, tapi kutahan.
“Berat, kan.
Kukatakan itu kejahatan, karena kita tidak tahu siapa orang yang telah Allah
siapkan dan akan Allah pertemukan nantinya. Jadi, menyatakan perasaan itu
hanyalah untuk saling menyakiti pada akhirnya. Ya, beruntung jika Allah ridha
mempersatukan kalian.”
“Eh, kalian
maksudmu?” Rossa melengos, tanda kemenanganku tiba. Agak sulit memang
memberikan argumentasi padanya, kadang logika kita berbeda, ukuran rasionalitas
kita juga berbeda. Dia cukup keras kepala, tidak jauh berbeda denganku
sebetulnya, tapi aku lebih sering mengalah.
“Ya, sudah, yuk ke
kantor. Sepertinya sudah mulai sepi,” aku beranjak ke kasir untuk membayar.
Sedetik kemudian Rossa sudah di depanku, “ultramilk dua, mie ayam satu, pisang
itu satu,” katanya sambil menunjuk pisang gulung di barisan kue-kue basah. Tak
bisa kutahan senyumku bahkan sampai di kantor guru, aku merangkulnya erat,
sahabatku ini…
***
“Sya, mau cap tiga jari kapan?”
“Lusa, Wan...” jawabku singkat,
belakangan ia sering meneleponku. Mulai dari urusan penting sampai hanya ingin
mendengar aku menjawab, ‘kenapa, wan?’ Kadang demi ingin mendengar itu dia
hanya menelepon dan memanggilku, “Sya...” kujawab, “iya, wan?” Lalu dia tertawa
dengan tawa khasnya dan berkata, “nggak apa-apa,
kututup, ya,” aku keheranan setiap ia melakukan itu, tapi tetap saja membuatku
tersenyum, mungkin aku mulai gila.
“Sya, ke sekolah bareng mau?” tanyanya lagi.
“Eh?” aku tidak yakin dengan
pendengaranku.
“Berangkat bareng, nanti kujemput. Mau?” ia mengulangi pertanyaannya, sekarang
lebih jelas. Aku terkejut, apa-apaan...
“Fasya...” panggilnya lagi, aku
bingung ingin menjawab apa. Antara ingin dan tidak. Ada dorongan untuk
mendobrak prinsip yang kujaga selama ini, sekali
ini saja. Tapi hati kecilku masih saja merengek untuk menolaknya.
“Eh, Sya, halo...” Wawan kembali
memanggilku, membuatku refleks menjawab, “eh, iya, oke, boleh.” Eh...
“Oke, lusa jam 7 pagi aku mampir
ke rumahmu, ya,” ucapnya lagi. Ia pernah mengunjungi rumahku sekali, bertemu
dengan Tante Murni. Saat itu ia yang mendaftarkanku ujian masuk STIS. Ia datang
untuk mengantar kartu ujian yang dicetak olehnya. Tapi aku sedang tidak di
rumah, aku lupa Wawan ingin datang ke rumahku, aku malah seharian di kios. Saat
pulang, Tante Murni mengabarkan, dan aku menyesal, entah mengapa rasanya
menyesal sekali. Belakangan, beberapa hari setelah kejadian itu, aku menyadari
satu hal...
--------to be continued
Comments
Post a Comment