Lilin di Sudut Gelap (2) - Sebuah Cerbung

       
Ini sudah memasuki 10 bulan Ayah tidak pulang dan tidak memberi kabar, setidaknya itu yang kutahu dari telepon Ibu kemarin sore. Aku sudah memasuki waktu-waktu sempit menuju try out nasional. Kesibukanku di kios dan privat mengajar anak-anak SD sedikit mengganggu aktivitas belajarku. Jadilah aku mengalami perubahan gaya hidup sejak 2 bulan yang lalu; tertidur dini hari, dan bangun di waktu shubuh. Terkadang aku hanya sempat tidur satu setengah jam, dari pukul 01.30 sampai 03.00 WIB. Tidak ada yang tahu aktivitasku, hanya wajahku selalu mengkhawatirkan.


“Semalam tidur jam berapa?” tanya Hendro, teman sekelasku. Mungkin melihat mataku yang sayu.

            “Seperti biasa, jam 2,” jawabku sekenanya. Hendro memasang wajah yang paling heran yang pernah aku lihat, “seperti biasa??” tanyanya. Aku hanya mengangkat pundak.

            “Ya ampun, jadi setiap hari kamu tidur jam 2 pagi???” tanyanya lagi dengan gaya yang sangat hiperbola menurutku. Aku meliriknya sebentar, memberikan tatapan ‘please, aku lagi nggak mau diganggu’.

              Hendro segera bergegas keluar ruangan dengan ekspresi bernafsu mengumumkan habitku ke seluruh seantero sekolah. Tak begitu peduli, aku kembali membereskan angka-angka di atas kertas A4, hasil fotokopi buku soal-soal ujian temanku. Aku tak sempat membeli yang baru. Kemarin 3 buku soal matematika sudah kuhabiskan, padahal tipe soalnya mirip-mirip bahkan banyak yang sama persis, tapi aku tetap saja mengerjakannya. Aku suka matematika, di atas kesukaanku pada fisika. Tiga hari yang lalu, di hari Senin, Bu Sona mengajakku berbicara. Beliau memberi saran agar aku mengikuti ujian masuk Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS). Aku cukup tertarik karena biaya full dicover oleh instansi, dan setelah lulus karirku sudah jelas. Meski ada keinginan untuk memperdalam matematika murni di Universitas Indonesia.

Tuh, wan, kelakuan banget, sekarang setiap malam tidurnya jam 2 pagi, masa,” suara Hendro menghentakkan kepalaku, betul dugaanku, dia berniat mengumumkan ke seluruh siswa dengan suaranya yang toa itu. Tatapanku sudah siap menelan suaranya, tapi justru aku yang tercekat, ia datang membawa Wawan, Ketua Kelas IPS-1. Dahiku mengernyit gugup. Wawan dengan santainya duduk di bangku depan mejaku, menatapku sedikit, kemudian mengalihkan tatapannya ke tumpukan kertas di hadapannya.

            “Karena ini kamu tidur dini hari?” tanyanya sambil menunjuk kertas-kertasku. Aku berkedip gugup, kemudian tersenyum meringis. Ia menggelengkan kepalanya, “Sya, kamu itu sudah pintar, ngapain belajar sampai sekuat itu? Sudah mending kita makan di kantin, yuk,” lanjutnya sambil menarik pensil di tanganku, meletakkannya di atas kertas-kertasku, tanpa menarik tanganku ia berdiri, memberi tatapan ‘ayo ikut aku’. Ia agak berbeda dengan yang lain, kadang teman lelakiku sengaja menarik lenganku, membuatku memberi tatapan kesal, kemudian mereka tertawa-tawa. Atau ada yang menghormati prinsipku tapi dengan kesan meledek. Wawan tidak begitu, ia betul-betul menghormatiku. Membuatku agak segan memang.

            “Wan, kamu makan saja sama Hendro, aku lagi puasa insya Allah,” kataku sambil tersenyum tipis. Kulihat alis Wawan sedikit terangkat, “ah, kamu, ndro, nggak bilang kalau Fasya lagi puasa, kan, aku jadi nggak enak ngajakin makan,” ucapnya sambil melirik Hendro kesal, sedikit tersirat malu. Aku tersenyum, “santai saja, Wan...” Hendro malah cengangas-cengenges minta kulempari bangku. Sahabatku yang satu ini memang lucu, sering membuatku kesal, tapi wajahnya yang lucu sepaket dengan ekspresinya sering pula membuat kesalku luntur seketika.

               “Aku sih sudah tahu, Wan, kamu kurang perhatian berarti sama Fasya,” balas Hendro.

           “Oh, iya, besok-besok lebih perhatian lagi, deh,” kata Wawan, membuat dadaku tiba-tiba seperti tersengat listrik, dengan santainya dia berlenggang keluar kelas sambil melambaikan tangannya padaku, “ke kantin dulu, ya, Sya...” tersenyum.

             Tatapanku terpaku beberapa menit di pintu kelas. Dia bilang apa tadi?

***

              Pengumuman itu keluar!!!

      Tapi kau takkan melihat ekspresiku segirang tanda seru itu. Aku memandangi papan pengumuman yang jauhnya sekitar 5 meter dariku, itu karena saking ramainya papan tersebut dikerumuni. Entah mengapa tim Ujian Nasional memutuskan memajang daftar nilai 300-an siswa di papan pengumuman, aku tidak begitu tertarik. Mungkin sehabis isya nanti aku baru bisa melihatnya. Huh...

            Lelah menunggu 15 menit yang sia-sia, aku melangkahkan kaki, berniat menuju kantin saja. Tiba-tiba langkahku terhenti karena tarikan keras di lenganku. Hendak marah rasanya, sayang, yang menarik adalah Rossa, teman kecilku yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri, semacam saudara kembar, karena kebetulan kita lahir pada tanggal yang nyaris sama, tinggal di rumah yang juga nyaris sama. Kuceritakan nanti, karena aku menyesal tidak bisa marah, padahal ingin sekali marah.

            “Apa, sih, Roooos, Masya Allah...” teriakku. Aku hanya bisa berteriak, dan teriakanku malah membuatnya semakin keras menyeretku. Tanpa berkata-kata, dan tidak juga berkata-kata sampai kita berhenti.

          “Tuh, lihat!” katanya seperti orang menghardik. Tangan kirinya berkacak pinggang, sementara tangan kanannya menunjuk papan. Aku tidak sadar tadi menerobos kerumunan yang sedari tadi enggan sekali kudekati. Mataku akhirnya mengikuti arah telunjuknya. Ah, ternyata yang dipajang di papan pengumuman adalah nama-nama siswa yang mendapat nilai sempurna di mata pelajaran yang di UN-kan. Kulihat namaku berada pada deretan nama-nama itu. Bukan hanya satu, tapi dua mata pelajaran. Apa? Kimia?? Kalau matematika, wajar, dan semua memaklumi, tapi kimia?

         “Waktu itu kamu bilang kamu paling nggak suka sama kimia, itu buktinya???” ucap Rossa emosi. Aku heran kenapa dia emosi. Lalu mataku tiba-tiba menangkap nama ‘Rossana Wulandari’. “Hey, hey,” kataku, “kamu bilang kamu paling nggak suka bahasa Indonesia, itu nilaimu bisa 100?” tanyaku sambil mengangkat alis sebelah kanan. Dia melirik papan sedikit, “itu bukan apa-apa,” jawabnya.

            “Hello, Rossa, sudahlah,” kataku menyerah. Aku mundur sedikit, “aku ingin ke kantin.”

          “Sebentar, traktir aku makan, ya...ya, ya...” katanya memelas. Aku hanya membalas dengan tatapan datar, lalu meninggalkannya. Ia mengikutiku sambil berlari. Tahu betul bahwa diamku adalah “iya”, atau tatapan datarku adalah jawaban pasrah.

          Aku melangkah malas ke kantin, mengambil pisang gulung kesukaanku, sedangkan Rossa menuju lemari pendingin, mengambil ultramilk strawberry dan coklat, lalu menuju counter pemesanan. Sebentar, sebentar, aku hanya mengambil pisang gulung, kok, bisa-bisanya dia memesan makan, pasti mie ayam, dasar nggak tahu diri, mentang-mentang ditraktir. Ia melenggang santai di depanku, memberikan susu kesukaanku sambil cengar-cengir.

           “Kok, mukanya ditekuk gitu, sih? Dapat nilai bagus harusnya senyum dooong,” katanya sambil mencubit pipiku. Aku menepis tangannya pelan. Mood-ku sedang kurang baik, kurasa ia dapat menangkapnya.

            “Tenang saja, aku yang traktir, hahaha,” ucapnya, berusaha mengembalikkan mood-ku. Ah, justru semakin merusak suasana.

            “Aduh, bukan itu, nggak apa-apa aku yang traktir, kan, aku yang syukuran,” jawabku agak melunak. Dahi sahabat kecilku ini berkerut, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, “terus kenapa...?”

            Malas sebetulnya aku ditanya olehnya, entah mengapa aku yang malas dan bukan dia, padahal nantinya dia yang akan mendengar ocehanku yang kemungkinan besar tanpa henti ini. Rossa masih saja menatapku penuh perhatian, hampir menguapkan seluruh kesalku. Mengapa banyak kutemukan orang-orang baik dan berwajah ramah seperti ini di dunia? Oh, Allah...

            Aku menghela napas dan mulai bercerita.

***

        Tiga puluh menit yang berharga bagiku. Ya, meluapkan isi kepala yang terasa crowded, sekarang menjadi ringan begitu saja. Kuceritakan pada Rossa, sahabat kembarku yang tingginya 3 cm lebih tinggi dariku, dan tubuh tipisnya itu begitu menenangkan ketika mendengar celotehanku yang panjang dan cepat. Kuceritakan kesalku yang terpendam beberapa bulan ini. Banyak sekali yang mengganggu pikiran, dari urusan rumah hingga urusan hati.

          “Beliau itu, kan, tetap ayahmu, husnuzhan saja beliau sedang berjuang menafkahi keluarga. Doakan biar sukses, diridhai oleh Allah…” kata Rossa bijak, tumben sekali, biasanya aku yang bicara sok bijak begitu.

      “Nah, kalau soal Wawan itu, ah, sudahlah, mengaku saja padanya,” lanjutnya sambil mengedipkan mata genit. Aku mendelik, “apa sih, kok, malah disuruh mengaku, memang aku salah apa?”

         “Loh, biar kamu juga tenang, kan? Daripada uring-uringan nggak jelas,” Rossa tertawa kencang. Dia sepertinya senang sekali mendengar ceritaku, cerita yang ia tunggu-tunggu. Aku tak pernah bercerita tentang ini sebelumnya, sejak kita sama-sama sadar bahwa kita tumbuh besar bersama. Aku termasuk yang paling tenang mengenai masalah ini di antara kita berdua, dan di antara sekian teman kumpul bareng kami. Karena aku cenderung lebih senang menyimpan perasaan. Aku sudah mengagumi Wawan sejak mengenalnya di Masa Orientasi Sekolah dulu. Kepribadiannya unik, cerdas, pembawaannya santai tapi tegas, dan yang menarik, dia suka sekali melukis.

             Tidak ada yang tahu aku mengaguminya, yang kemudian perlahan aku rasa bukan lagi hanya kagum, lebih dari itu. Inilah yang baru saja aku ceritakan kepada Rossa, karena aku merasa terganggu dengan perasaanku sendiri. Rossa dengan seenak udelnya malah menyuruhku mengaku pada lelaki itu. Aku tidak sejahat itu.

          “Kenapa? Kamu masih menganggap itu adalah sebuah kejahatan?” tanya Rossa. Ia menyeruput sisa kuah mienya. Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi, memejamkan mata, “jelas,Ros…” gumamku.

           “Kenapa sih, kok, kejahatan? Nggak ngerti aku.”

       “Hati itu urusan Allah, Ros, siapa yang tahu kita akan dipersatukan dengan siapa nantinya. Sekarang kamu bayangkan, kalau aku mengaku suka pada si bocah itu, lalu itu mengusik hatinya, dan ia jadi suka padaku juga…”

           “Eiiits, kamu, kok, pede betuuuul,” potong Rossa, wajahnya sudah siap meledekku.

     “Kan, kalau, aku sedang menyampaikan kemungkinan-kemungkinan. Karena menyatakan perasaan itu mengusik hati, Ros. Coba kamu, kalau tiba-tiba si Wawan datang dan mengatakan bahwa dia suka padamu, apakah kamu akan tenang-tenang saja? Pasti perasaanmu juga terganggu. Hanya ada dua pilihan, kamu tidak suka lalu menjauhinya, atau berdebar hatimu,” kataku, aku mulai malas menjelaskan.

           “Hm, hm, hm, baiklah…lalu letak kejahatannya di mana?” tanyanya, nampak masih mencari kesalahanku, ingin kutimpuk saja orang ini dengan sepatu.

             “Aku misalkan itu kamu, Ros, melanjutkan yang tadi. Sebut saja si W itu Mawar,”

       “Eh, kok, Mawar sih, Sya? Dia, kan, laki….” Potongnya lagi. Aku melambaikan tangan menyuruhnya berhenti.

         “Dengar dulu. Mawar tadi menyatakan perasaannya padamu, lalu hatimu terusik, perlahan kagetmu itu berubah menjadi sesuatu yang indah. Manis rasanya, dan kamu ingin ia mengulanginya lagi untuk memastikan. Lalu ia mengulanginya, dan entah mengapa secepat itu hatimu berubah jadi taman bunga. Aku tanya dulu, itu mungkin atau tidak? Jujur saja,” tanyaku.

         “Kalau itu si Wa, eh, si Mawar, mungkin saja, tampan sih, hahaha,” jawabnya sambil terpingkal. Aku menghiraukannya dan melanjutkan, “oke, suatu hari, setelah kalian sama-sama tahu tentang perasaan di antara kalian, lalu kehidupan terasa lebih indah dari sebelumnya. Saat itu, ada yang datang pada bapakmu, seseorang yang shalih, tampan, dan yakin untuk meminangmu. Apa yang akan kau lakukan?”

      Rossa yang tadinya cengar-cengir perlahan terlihat bingung, “wah, berat, Sya……….” Membuatu ingn tertawa, tapi kutahan.

        “Berat, kan. Kukatakan itu kejahatan, karena kita tidak tahu siapa orang yang telah Allah siapkan dan akan Allah pertemukan nantinya. Jadi, menyatakan perasaan itu hanyalah untuk saling menyakiti pada akhirnya. Ya, beruntung jika Allah ridha mempersatukan kalian.”

       “Eh, kalian maksudmu?” Rossa melengos, tanda kemenanganku tiba. Agak sulit memang memberikan argumentasi padanya, kadang logika kita berbeda, ukuran rasionalitas kita juga berbeda. Dia cukup keras kepala, tidak jauh berbeda denganku sebetulnya, tapi aku lebih sering mengalah.

        “Ya, sudah, yuk ke kantor. Sepertinya sudah mulai sepi,” aku beranjak ke kasir untuk membayar. Sedetik kemudian Rossa sudah di depanku, “ultramilk dua, mie ayam satu, pisang itu satu,” katanya sambil menunjuk pisang gulung di barisan kue-kue basah. Tak bisa kutahan senyumku bahkan sampai di kantor guru, aku merangkulnya erat, sahabatku ini…

***

           “Sya, mau cap tiga jari kapan?”

           “Lusa, Wan...” jawabku singkat, belakangan ia sering meneleponku. Mulai dari urusan penting sampai hanya ingin mendengar aku menjawab, ‘kenapa, wan?’ Kadang demi ingin mendengar itu dia hanya menelepon dan memanggilku, “Sya...” kujawab, “iya, wan?” Lalu dia tertawa dengan tawa khasnya dan berkata, “nggak apa-apa, kututup, ya,” aku keheranan setiap ia melakukan itu, tapi tetap saja membuatku tersenyum, mungkin aku mulai gila.

            “Sya, ke sekolah bareng mau?” tanyanya lagi.

            “Eh?” aku tidak yakin dengan pendengaranku.

           “Berangkat bareng, nanti kujemput. Mau?” ia mengulangi pertanyaannya, sekarang lebih jelas. Aku terkejut, apa-apaan...

      “Fasya...” panggilnya lagi, aku bingung ingin menjawab apa. Antara ingin dan tidak. Ada dorongan untuk mendobrak prinsip yang kujaga selama ini, sekali ini saja. Tapi hati kecilku masih saja merengek untuk menolaknya.

           “Eh, Sya, halo...” Wawan kembali memanggilku, membuatku refleks menjawab, “eh, iya, oke, boleh.” Eh...

         “Oke, lusa jam 7 pagi aku mampir ke rumahmu, ya,” ucapnya lagi. Ia pernah mengunjungi rumahku sekali, bertemu dengan Tante Murni. Saat itu ia yang mendaftarkanku ujian masuk STIS. Ia datang untuk mengantar kartu ujian yang dicetak olehnya. Tapi aku sedang tidak di rumah, aku lupa Wawan ingin datang ke rumahku, aku malah seharian di kios. Saat pulang, Tante Murni mengabarkan, dan aku menyesal, entah mengapa rasanya menyesal sekali. Belakangan, beberapa hari setelah kejadian itu, aku menyadari satu hal...





--------to be continued

Comments

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita