17 Agustus
Bismillah
Merdeka!
Teriakan itu sejak beberapa hari yang lalu, hingga kini
masih terdengar jelas. Kini di belakang rumahku acara puncak HUT RI RW 2
Grendeng masih berlangsung, dan baru saja teriakan itu kembali terdengar dari
sambutan seorang tokoh yang telah kukenal betul, Kepala Kelurahan Grendeng.
Senang melihat warga sekitar masih sangat antusias memperingati kemerdekaan
Indonesia di tengah carut marutnya kehidupan, di tengah panasnya pemberitaan
tentang pemerintahan Negara, di tengah ramainya kritik terhadap bangsa ini,
ternyata masih ada rindu itu.
17 Agustus.
Rindu yang tengah membuncah, memaksaku keluar dari rutinitas
yang takkan pernah usai. Aku berencana menyelami alam semesta. Mencari kembali
makna semangat yang kian memudar. Menguji insting kebebasanku. Meyakinkan jasad
ini. Meyakinkan ruh ini. Bahwa dunia hanyalah seujung jari, dan dengan jarak
itu pula lah kebesaran Allah telah dibentangkan.
Dua minggu sudah kulalui waktu yang semakin lama terasa
membosankan. Aku yakin dengan keyakinanku, bahwa aku menyukai hal-hal yang
berulang, aku tak mudah bosan dengan pekerjaanku. Tapi nyatanya tidak begitu.
Kali ini aku bosan dengan rutinitasku, bolak-balik kos-kosan apotek, kadang
sesekali mengunjungi adikku di Purbalingga, lalu sesekali pula aku bermain ke
kos-kosan teman. Betul-betul 2 minggu dengan hari yang berulang.
Rutinitas di apotek akan usai pada tanggal 15 Agustus, H-2
kemerdekaan. Adakah yang spesial di hari kemerdekaan? Pernah kau bertanya
begitu? Jika pernah, ingatlah untuk tidak menanyakannya lagi di tahun
berikutnya. Spesial itu tak akan datang sendiri, ia didatangkan. Apa yang
spesial dari hari ulang tahunmu kutanya? Bukankah itu seperti hari-hari biasa?
Jika jatuh pada hari senin, ya, hanyalah hari senin dengan tanggal yang tertera
di KTP-mu. Hari itu akan spesial jika seseorang mengingatnya, atau banyak
orang, lalu mengucapkan selamat padamu atau bahkan memberikan kado ulang tahun.
Takkan kau temukan mungkin di hari-hari yang lain.
Bulan Ramadhan misal. Apa yang spesial dari bulan ini? Jika
kau tak membuatnya spesial, tak terasa spesial, sungguh. Jika kau tak berpuasa,
tidak berniat dengan kesungguhan hati untuk memaksimalkan ibadahmu di bulan
mulia, tak akan terasa spesial, seperti hari-hari biasa saja, bedanya,
warung-warung pada siang hari di bulan itu rata-rata tutup. Lihatlah, bulan
yang Allah spesialkan akan terasa hambar tanpa perlakuan darimu. Begitu pula
dengan hari itu, 17 Agustus.
Sudah lama aku ingin bercengkerama dengan alam. Hingga
seorang teman mengajakku bicara, dan satu kata terucap dari bibirku, Rinjani.
Entahlah, Suryani belum lama menceritakan keindahannya, serunya, dan pastinya
mahalnya transportasi sampai ke puncak sana. Aku jadi tertarik, tapi kutahan
sampai ada yang mengajakku nge-date di
sana (ini mimpi). Kembali pada obrolanku dengan temanku yang aku lupa
menghitung berapa luasnya, yang kuingat, aku menyebut satu kata lagi, Ciremai.
Maka jadilah rencana mendaki itu dimulai.
Aku ingin tahu seberapa besar euforia kemerdekaan rakyat
Indonesia di atas samudera awan. Seberapa khidmat. Seberapa besar hikmatnya.
Awalnya aku tidak yakin dengan tanggal itu, karena aku masih dalam masa Praktek
meski sudah tidak perlu ke apotek sejak tanggal 15. Jadilah aku tersibukkan
dengan rutinitasku, latihan fisik seadanya, mempersiapkan perlengkapan
sesempatnya, dan mencari teman seingatnya. Nampak tidak niat, tapi bukan karena
tidak niat, hanya belum yakin betul. Hingga saudariku yang pernah menjadi
partner relawan di Banjarnegara beberapa waktu lalu berkenan ikut. Aku senang
bukan main. Tiba-tiba saja keyakinanku memuncak. Ternyata begini Allah
menjawabnya. Terima kasih Allah…
Perjalanan itu betul terjadi, kawan! Akan kuceritakan di
kanvas yang lain…
17 Agustus.
Berbagai euforia kemerdekaan kusaksikan di beberapa lapisan
masyarakat. Satu yang kupahami. Kita semua rindu. Rindu kedamaian, rindu
kebersamaan, rindu gotong royong, rindu keterbukaan, rindu kedekatan. Rindu berlari
satu sama lain, menghilangkan bayangan jarak yang menyiksa. Rindu menertawakan
masa lalu dan melihat masa depan, melupakan penatnya kehidupan saat ini. Rindu bersua
sapa, menatap ke dalam mata, bukan layar-layar kaca. Rindu bercengkerama,
menyaksikan ekspresi, menghirup udara, memanjakan mata.
Apakah kemerdakaan itu telah betul kita dapatkan? Kurasa,
satu-satunya penjajah nyata adalah diri kita. Diri kita yang tak berani melepas
rindu, tak berani meraih mimpi. Diri kita yang teracuni dan biarkan racun
merenggut nyawa. Diri kita yang tak lagi sekuat karang, tegar diterjang badai.
Kelemahan bangsa ini menjajah diri mereka sendiri.
Mari belajar dari alam, karena alam menguatkan.
“Hâ Mîm. Kitab ini diturunkan dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya di langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaanmu sekalian dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini, dan pada pergantian malam dan siang dan rezeki (hujan) yang diturunkan Allah dari langit lalu Dia hidupkan dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal. Itulah ayat-ayat Allah yang Kami bacakan kepadamu dengan benar. (Jika mereka tidak beriman kepadanya), maka kepada ucapan mana lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya?” (QS. Al Jatsiyah: 1-6)
17 Agustus.
Mari berdoa untuk kemerdekaan sebenarnya. Mari berdoa untuk
akhir yang baik bagi bangsa dan Negara ini.
Tengadahku di atas samudera awan, di bawah langit tak
bertiang, 3078 mdpl.
Allah, ampuni hamba-hamba-Mu
yang kurang syukur ini. Berikan kami kekuatan, untuk menjadi orang-orang yang
membangun, bukan yang merusak. Berikan ketenteraman hati, kerendahan hati,
untuk menerima ilmu-Mu yang seluas alam semesta ditambah berkali-kali lipat. Allah,
jadikan pemimpin-pemimpin kami, pemimpin yang adil, yang bijaksana, yang
bermartabat, yang mencintai-Mu dan mencintai rakyatnya, yang kuat pundaknya,
yang luas ilmunya, yang lembut hatinya, yang terang pemikirannya, yang lurus
jalannya, yang besar harapan dan mimpinya, yang berani melawan kebathilan, yang
selalu kembali kepada-Mu tatkala memutuskan suatu perkara, yang selalu menjadi
penyemangat rakyatnya, yang optimis akan perubahan menuju kebaikan. Allah,
kokohkan barisan kami, teguhkan pendirian kami, dalam membela agama, bangsa,
dan Negara. Aamiin Ya Rabbal ‘Aaalamiin…
Allahu Akbar! Merdeka!
Kuharap teriakan itu tak pernah surut terdengar.
Dina Qoyima. Purwokerto, 23 Agustus 2015. 00:00
Comments
Post a Comment