Ikatan yang Berbunyi Lamaran

*Baca tulisan sebelumnya, Gelap

Perempuan mana yang tidak bahagia menjadi pilihan? Sifat asli perempuan yang senang dipuji dan dipuja menjadikannya berbunga-bunga ketika ada yang menyenanginya, semakin banyak semakin bahagia. Lalu bagaimana dengan menjadi pilihan bagi orang yang didamba? Atau yang dirasai oleh hati, bahwa ialah yang tampak menawan. Tentu seperti melihat cahaya di ujung jalan setelah terkurung di dalam terowongan berkilo-kilometer, atau seperti melihat air setelah terjebak di tengah gurun, atau seperti melihat tali terjulur setelah berjam-jam terjatuh ke dalam sumur sedalam 15 meter. Ah, amat membahagiakan. Tapi kebahagiaan itu sempurna setelah dicapai bukan?

Aku bersiap pulang ke rumah untuk pertemuan itu. Sungguh, perasaanku campur aduk, jika aku diminta berhitung, mungkin 25x25 akan kujawab 225. Atau ketika aku diminta bercerita mungkin Cinderella akan tertusuk jarum pintal. Aku kacau. Bagaimana mungkin seorang Dina—dan kedua orang tuanya—benar-benar akan dipertemukan dengan orang tuanya Zaky? Dan pertanyaan itu tidak terjawab hingga kalender menebalkan tanggal 8 Oktober. Semua sudah siap. Tinggal aku yang tidak siap mendengar obrolan mereka. Ah, juga tidak siap melihat ke arah mereka, ia, dan kedua orang tuanya. Aku sembunyi di balik tirai.
Perkenalan sukses, obrolan mereka nyambung dan bersambung-sambung. Sepertinya cocok. Hingga masuk pembicaraan inti tentang niat itu. Lalu dengan penuh pertimbangan, Ayahku mengarahkan pembicaraan ke arah “khitbah langsung”, bukan sekadar “ta’aruf”. Beliau berbicara tentang “mengikat”, “agar saya tidak bisa menerima orang lain”, “tidak ada khitbah di atas khitbah”, dan lain sebagainya untuk meyakinkan bahwa proses ini jangan dibuat lama. Namun, pihak lelaki meminta waktu.

“Kami terbiasa mengabarkan seluruh anggota keluarga sebelum melakukan lamaran, dan biasanya seluruh anggota keluarga saya akan hadir dalam acara lamaran tersebut,” kata Bapak dari lelaki. Kali ini Ayahku memberikan penekanan pada maksudnya, yakni cukup dengan ucapan, “saya bermaksud melamar putri Bapak untuk anak saya. Apakah Bapak berkenan?” Adalah sudah termasuk khitbah, adapun lamaran secara formal dapat direncanakan lebih lanjut. Mungkin begitu. Kurang lebih. Maka, aku mendengar Ayahku melakukan beberapa jurus agar si Bapak mengerti dan mau mengikuti skenario tersebut. Seperti,

“Mohon maaf, ini bukannya takabbur, na’udzubillahi min dzaalik. Semoga ini hanyalah tahadduts bin ni’mah, menceritakan kebahagiaan saja. Bahwa sudah ada 4 orang yang menghubungi, ‘meminta’ putri saya yang ini. Pertama, teman satu kampusnya, beliau bahkan sudah menemui saya. Yang kedua, anaknya teman saya, biodatanya bahkan sudah dikirimkan. Yang ketiga ya Zaky ini. Yang keempat, teman sekampusnya juga, yang ini baru menghubungi Dina.”

Kemudian,

“Saya bermaksud agak mempercepat proses ini, karena kebetulan akhir bulan ini, sekitar tanggal 20 saya harus ke Maluku.”

Sayang beribu sayang, jurus yang terakhir ini berakhir tragis.

“Sampai kapan, Pak, di Maluku?” tanya si Bapak.

“Ya sekitar dua bulanan, agak lama,” jawab Ayahku, masih dengan jurusnya, berharap jitu.

“Ya sudah, kalau begitu tunggu Bapak pulang saja, dua bulan lagi kami ke sini lagi untuk lamaran,” dhoenggg! Aku menepuk dahi. Konon katanya si  lelaki jugs langsung mendongak putus asa. Ayahku tidak berkutik beberapa saat, dan akhirnya menyerah. Siapalah ia yang dapat memaksa-maksa anak lelaki orang melamar putrinya? Lagi pula ia telah cukup merendahkan dirinya dengan melakukan tahadduts bin ni’mah tadi. Cukup mempermalukan diri. Maka, selesailah obrolan di hari itu dengan hati yang sama-sama was-was. Was-was yang mau dilamar keburu mencari yang lain, atau dijodohkan dengan yang lain, atau menerima yang lain. Aku sendiri was-was aku keburu jenuh dan melupakan niat itu, atau mungkin lelaki itu yang jenuh.

Keluarga itu pulang. Aku sendiri langsung kembali ke perantauan, mengingat ada janji yang harus ditunaikan esok harinya. Selama perjalanan aku tidak tenang. Apakah benar-benar harus menunggu dua bulan lagi? Dua bulan. Itu bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Bahkan skripsiku yang kuselesaikan—setelah ditunda lama—selama dua bulan yang disambi mengurus ini itu, serta diselingi bermalas-malasan saja dibilang lama sekali. Dua bulan. Aku bisa naik turun gunung berkali-kali, ya itu kalau ada dananya. Bisa saja minta didanai. Ah, banyak kok yang mau mengajakku naik gunung, meski kebanyakan lelaki. Dua bulan. Oh Tuhan, aku bisa kurus! Atau sebaliknya, gemuk! Itu artinya aku bisa melakukan banyak hal selama dua bulan hingga aku kurus atau gemuk, saking lamanya! Kepalaku sakit, maka aku memilih tidur di perjalanan.

Keesokan harinya—bukan dengan tidak sadar—aku sudah di Purwokerto. Aku membantu panitia daurah memahamkan para peserta sedikit tentang KAMMI dan sejarahnya dengan pengetahuanku yang amat terbatas. Selepas itu, masih di tempat daurah, ada pesan yang masuk ke handphone-ku, “Bapak saya pagi ini tiba-tiba nanya, ‘kalau ke rumah Dinanya tanggal 20-an ini gimana?’” Aku tersedak. Apa? Karena itu bentuknya pesan yang dapat dibaca berulang-ulang, aku tak perlu mendramatisasi keadaan dengan mengatakan, “apa? Ulangi sekali lagi…?”

***

Baik, aku tidak ingin membuat cerita ini seperti novel. Maka, singkat cerita, sepekan kemudian aku kembali ke rumah, dan Ayahku baru mengabarkan kebenarannya, bahwa  lamaran akan dilakukan pada hari Ahad depan, 23 Oktober 2016. Sudah terjadwal, dan kemungkinan kecil bergeser atau bahkan batal. Jadilah sepekan sebelum hari H sebagai pekan tergelisahku. Aku mau lamaran, men! Lamaran! Tidak perlu dua bulan! Oh Allah, cepatnya…

Aku tahu aku perempuan, dan begitulah perempuan. Diberi waktu lama tak sabar, diberi sebentar tak siap. Sungguh plinplan. Itulah aku saat itu. Tapi sifat keperempuananku tidak sepenuhnya kumiliki. Misalnya sifat perempuan yang suka dandan. Jadilah malam Ahad, sebelum hari H, aku disibukkan dengan tutorial melilit pashmina, dan menebalkan alis, dibantu kakakku melalui chat whatsapp, karena kebetulan ia masih di Jerman. Ini pelajaran berharga, karena suatu hari pasti aku membutuhkannya lagi. Terlebih sekarang alisku mulai menipis…

Hari itu, Eyang dan Opungku, orang tua Ibuku turut menemani acara lamaran tersebut. Hadir juga Nenek, Ibu dari Ayahku. Beberapa saudara yang berencana hadir ternyata berhalangan. Sedangkan pihak lelaki, aku tak sempat menghitung, tapi kira-kira jumlahnya 11 orang. Kurang satu atau lebih satu. Biar nanti kupastikan di dokumentasinya. Yang jelas ruang tengah sekaligus ruang tamu rumahku yang kecil itu nyaris tak dapat menampung semuanya, juga menampung pernak-pernik bingkisan dari pihak lelaki. Pernak-pernik itu, semakin meyakinkanku bahwa aku sedang berada dalam proses lamaran. Lalu disempurnakan dengan penyematan cincin oleh calon Ibu mertua, katanya, “dua menantu saya dulu juga dikasih cincin ketika lamaran. Biar sama yang ini juga.”

Aku tidak perlu menceritakan detail proses lamarannya bukan? Bagaimana perasaanku? Kamu yang sudah pernah merasakannya pasti tahu, kurang lebih sama. Belum pernah merasakan? Rasakan saja nanti. Aku tidak mau perasaan yang amat rumit tapi indah itu menjadi tampak sederhana karena dituturkan dengan kalimatku yang kurang indah. Tetapi setidaknya kuberi tahu hasil kesepakatan hari itu, yakni pernikahan akan dilangsungkan pada tanggal 11 Desember 2016, hari Ahad. Setelah tanggal ditetapkan, usailah pertemuan itu, dan napasku sedikit melega. Masih ada pertemuan dalam daurah yang akan diadakan dua hari lagi, di mana aku menjadi peserta dan lelaki itu menjadi instrukturnya, Daurah Marhalah 3 KAMMI, yang nantinya akan dikira sebagai sarana pertemuan antara aku dan jodohku, juga ia dengan jodohnya. Ingat, aku sudah memakai cincin lamaran.[]

Comments

Post a Comment

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita