Hidup Enak

Kemarin aku ditanya, “Menurutmu, seperti apa hidup enak itu?”

Kujawab dengan entengnya, “hidup enak itu, kalau sekolah lancar, kuliah lancar, kiriman lancar, makan gak mikir-mikir, beli kebutuhan sehari-hari gak mikir-mikir, memenuhi kebutuhan akademik gak mikir-mikir, lulus cepat, nikah gak susah, dapat suami ganteng, kaya, shalih, multitalent, pintar, sayang istri, setia,didik anak berdua dengan saling pengertian, kerjaan mulus, anak juga mulus sekolahnya, dan seterusnya sama seperti di atas.”

Itulah hidup enak, kawan…

“Tapi,” kataku lagi, “matinya belum tentu enak.”

Kemudian sejenak aku berpikir tentang makna ‘enak’ ini. Enak identik dengan menyenangkan, nikmat, atau jika kata itu disandarkan pada makanan maka menjadi lezat atau sedap. Kurasa, enak bersifat relatif. Misal, aku suka cheese macaroni scuttle, sedang kawanku sangat tidak menyukainya, karena ia tidak merasa cocok dengan kelezatan keju seperti yang kurasakan. Contoh yang lain, ada orang yang suka menghabiskan uang untuk travelling karena baginya menyenangkan, tapi di saat yang sama orang di sebelahnya sibuk membersihkan cincin akik di jarinya yang ketiga, baginya, mengoleksi cincin akik adalah menyenangkan, memakainya adalah kenikmatan. Dua orang ini telah memiliki dua sudut pandang yang berbeda dalam memaknai hidup yang ‘enak’.

Lalu, aku kembalikan lagi pertanyaan itu padaku, “jadi, hidup enak itu seperti apa?”

Aku membayangkan hal-hal menyenangkan dalam hidupku yang baru seperlima abad ini. Ternyata ‘hidup enak’ tidak melulu seperti yang kujabarkan di awal lembaran ini. Kaya tidak selalu menyenangkan, banyak uang tidak selalu nikmat, karena kenikmatan dan kesenangan berkaitan dengan suasana hati, ketenteraman dalam hati. Maka, kenikmatan sejati adalah ketika hati terpaut pada Pemiliknya.  Sama seperti bayangan yang melintas di kepalaku. Aku yakin betul, hidup enak adalah tatkala hati tenteram dan tidak dirundung rasa bersalah, baik rasa bersalah pada sesama maupun pada Tuhan semesta alam.

Dan…saat itulah hidup enak, saat kakiku ringan melangkah, menapaki perbukitan Manusela tanpa rasa takut. Saat mata kecilku menari di antara pepohonan, menyeruak hutan-hutan rimba di atas bukit. Saat tangan kecilku dengan beraninya menangkap dahan-dahan pohon, bergelantungan, mengikuti si lelaki yang seakan menantang. Saat bibirku mengucap riang ayat-ayat Tuhan, dalam masjid Al Ikhwan, dan saat melantunkan doa-doa pendek di rumah terpencil sang laskar. Atau saat tubuh ringanku menembus angin sore di sepanjang jalan BTN, menggowes sepeda. Kadang bermandikan hujan. Ringan, senang, riang, tanpa beban.

Tapi itu sudah berlalu, memasuki fase baru, di manakah hidup enak pada bagian ini?

Konteksnya tidak jauh berbeda, hanya bentuknya saja yang berubah kurasa. Hidup enak yang harusnya kau rasakan adalah ketika tak ada beban yang menghentikan langkah, tak ada rintangan kecuali memicu adrenalin, dan membuatmu tertarik melewatinya, tak ada rasa takut yang menghimpit hati akibat maksiat, waktu yang sia-sia, ibadah yang tiada khusyuk, ucapan yang menyakitkan, perbuatan yang menjatuhkan kehormatan. Tak ada bimbang karena hati yang dekat dengan Allah senantiasa memberikan penerangan. Tak ada sedih yang membumihanguskan semangat juang. Tak ada lemah yang menyurutkan langkah.

Buktinya, ketika kutanya pada ibuku, apakah hidup kita sudah enak? Beliau akan menjawab, “enak-enak saja, ya, dibawa enak saja…”

Hidup enak memang relatif. Relatif yang terstandar. Relatif yang punya pakem.


Lalu, bagaimana kau mendefinisikan hidup enakmu?

Comments

Popular Posting

Kunci dan Gembok