Perjalanan dan Pelajaran
Sudah memasuki hari keempat setelah pernikahan fenomenal—paling tidak
bagi saya—di tahun ini, Syayma dan Syukri, tetapi saya masih menguatkan
hati dan berusaha mengikhlaskan kepergian sahabat saya untuk mengarungi
samudera kehidupan dengan bahtera rumah tangganya. Agak sedikit
melankolis memang, karena tiada yang (benar-benar) menyangka bahwa
Syayma akan menikah secepat itu. Di samping karena idealismenya yang
cukup kuat, ia juga selalu mengelak dan (sok) mengalah jika di grup-grup
mulai menyinggung masalah sensitif ini.
Hari itu saya berusaha
mencari sisa-sisa penghidupan dari kantong-kantong tas, baju, laci-laci
lemari, dan ruang-ruang sejenisnya yang mungkin memberikan pencerahan,
sehingga saya dapat berpindah dari tempat ini menuju ratusan kilometer
ke barat sana. Alhamdulillah, benar kata si Bos, “pepatah arab
mengatakan bahwa jika ada niat baik maka akan terbuka jalan menujunya”.
Siapa sangka teman saya yang seharusnya berada di kampung halamannya di
Sorong, Papua sana, saat itu sudah menjadi tamu di rumah teman saya yang
lain di Bogor. Ia mengajak saya ikut bermalam di sana, setelah
mendengar rencananya yang (kemungkinan besar) tidak akan mengganggu
stabilitas ekonomi dompet saya, saya berani mengiyakan, tentunya juga
memintanya menjemput saya di terminal Bogor.
Bus kota
memberangkatkan penumpangnya dari Kota Satria yang sedang damai-damainya
menuju Ibukota yang pasti ramai dan (mungkin) banjir, pada pukul 19.00
WIB, dan saya sudah anteng menguasai tiga bangku sambil melahap satu
buku berjudul “Islam Gak Liberal”, karya Zaky Ahmad Rivai. Saya memilih
buku yang cukup ringan untuk menikmati perjalanan, ketimbang saya harus
membawa buku seberat “Perang Salib-Sudut Pandang Islam” karya Carole
Hillenbrand—yang sedang saya coba selesaikan, sudah berat bukunya karena
berisi 808 halaman, ditambah pembahasannya yang berat pula—sangat kaya
informasi, bisa-bisa mabuk darat. Sudah berbulan-bulan sejak saya
membeli buku ini—lebih tepatnya diberi bonus karena memesan lebih dari 3
buku, tetapi baru sempat (atau menyempatkan) saya baca dengan serius.
Sayang, tidak lama kemudian lampu dimatikan, dan cahaya yang tersisa
tidak mampu meneruskan niat baik saya. Akhirnya saya memejamkan mata dan
berlarian di alam mimpi.
Gambar 1. Islam Gak Liberal vs Perang Salib
Tepat pukul 02.30 dini hari saya
terbangun karena teriakan kondektur yang menyatakan bahwa penumpang
dengan tujuan Bogor dan Cibinong berhenti di persimpangan ini. Saya
linglung, mencari kacamata yang terjatuh dan segera melompat turun dari
bus kota. Saya bertanya kepada salah seorang penumpang yang kebetulan
sudah saya kenal sejak di terminal Purwokerto kemarin, “ini di mana ya,
Bu?” Jawabannya adalah; Cibinong. Saya cukup terkejut, menyapu
spanduk-spanduk dan informasi apapun di sepanjang jalan persimpangan,
saya menemukan banyak tulisan yang sama dengan jawaban Ibu tersebut;
Cibinong. Ah, rasanya sakit kepala. Apa benar ini Cibinong? Segera saya
hubungi teman saya yang untungnya dengan sekali telepon langsung
terbangun dari tidurnya, ia memberitahu saya untuk melanjutkan
perjalanan ke Pasar Anyar atau Stasiun Bogor, karena Cibinong masih
terlalu jauh. Akhirnya, saya memutuskan untuk naik angkutan umum, dan
ternyata hanya 20 menit sampai Pasar Anyar, selanjutnya saya dijemput.
Pagi
itu melelahkan. Tetapi teman saya yang dari Papua benar-benar
mengalihkan rasa kantuk dan lelah saya, kami bicara panjang lebar,
tentunya topik kami tidak jauh dari “pernikahan”, “jodoh”, atau
semacamnya. Ia yang berparas cantik dan tinggi semampai ini menceritakan
kisah perjodohan keluarganya yang tidak disengaja, dan tidak
diinginkannya. Kami saling bertukar cerita. Kesimpulan yang saya dapat
dari obrolan panjang kita adalah; kriteria calonnya cukup sulit! Lalu ia
hanya tertawa melihat ekspresi bingung saya. Harus ke mana saya cari
lelaki dengan kriteria seperti itu untukmu, nduk?
Terkadang
memang harus ada yang diikhlaskan di antara dua atau banyak pilihan,
mungkin antara idealisme dan perasaan, atau antara pilihan kita dan
pilihan orang tua, atau antara ego dan realitas. Satu-satunya cara untuk
memilihnya adalah istikharah. Maka tidak mantaplah rasanya jika pilihan
itu hadir tetapi kita memutuskannya sebelum istikharah. Walaupun Allah
pasti akan memudahkan jalannya jika memang berjodoh. Seperti Syayma dan
Syukri ini, seperti kisah kawan-kawan saya yang sudah lebih dulu
menempuhnya, seperti kisah-kisah mengharukan nan mengejutkan yang
mungkin sudah sering kita dengar atau baca. Tetaplah istikharah, selain
karena istikharah termasuk shalat tathawwu’ yang akan membantu
menyempurnakan shalat fardhu kita di akhirat nanti, tidak ada salahnya
memohon petunjuk Allah, toh memang Allah yang Mahatahu apa yang terbaik
untuk hamba-Nya.
Kembali pada rumah singgah. Selepas ngobrol ngalor ngidul,
saya jadi merenung dan menyadari beberapa hal—cukup berada dalam alam
pikir saya, lalu pikiran saya teralihkan oleh buku yang kemarin belum
rampung saya baca dalam perjalanan. Agak menyesal, karena saya terlalu
cepat membacanya. Akhirnya selama siang sampai sore saya benar-benar
kehilangan aktivitas. Beruntung ada beberapa buku di atas meja yang bisa
saya ‘obrak-abrik’, salah satunya adalah buku ‘Pedoman Kader’ Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) yang tidak sengaja terselip dan sengaja saya baca.
Terdapat pengantar panjang—lebih tepatnya sebuah cerita perjalanan—dari
seorang Alm. Nurcholis Madjid atau yang biasa kita kenal sebagai Cak
Nur. Alur yang cukup rumit ditambah editing yang kurang sempurna,
membuat saya perlu membaca lebih dari satu kali atau minimal
pelan-pelan setiap paragrafnya. Nah, karena isinya panjang dan
‘baik-baik saja’, saya kira tidak perlu dibahas di sini. Intinya adalah
saya cukup menikmati sore itu hanya dengan buku hijau yang saya
pegang—walau tanpa secangkir teh atau kopi.
Keesokan harinya, hari yang dinanti oleh alam jagat raya, dunia dan seisinya, hari dilangsungkannya akad nikah Syayma dan Syukri. Kami mendapatkan kendala sejak dini hari, hujan deras tiada hentinya menyerang perumahan, bahkan untuk berjalan keluar ala dandan kondangan pun kami ragu. Dengan segala cara, akhirnya diterjang juga hujan deras oleh kami, biarlah tanah dan langit menyaksikan seberapa besar azzam kami, pokoknya jangan kelewatan akadnya! Qadarullah, apalah daya supir taksi dan penumpang sama-sama tidak tahunya, sehingga kami terlambat 20 menitlah kira-kira setelah akad. Lemas rasanya, hilang nafsu makan saya—padahal belum sarapan sama sekali. Lalu ketika kaki ini melangkah menuju sang pengantin baru di depan sana, shock itu muncul lagi, seperti bertanya-tanya di dalam hati, “beneran nikah, Syay?” Apalagi ketika melihat suaminya (bukan calon lagi) adalah orang yang beberapa kali berada di hadapan saya sebagai pembicara yang menyengat semangat luar biasa. Inilah yang disebut sebagai rahmat bagi penghafal Al Quran. Saya dekati Syayma dengan kikuk, saya peluk tubuhnya, dan berlinanglah air matanya. Masya Allah Syayma, betul kata Syukri, bidadari cemburu padamu. Lihatlah langit pun menangis sepanjang hari…
Saya rasa ketenangan acara pada hari itu dihebohkan oleh kami, selfie sana selfie
sini, belum lagi pengantinnya juga tidak keberatan sama sekali. Saya
agak merasa bersalah kepada tuan rumah dan para undangan. Tapi ya
sudahlah, hanya ini yang dapat kami lakukan sebelum Syayma benar-benar
mengarungi bahteranya, dan sebelum kami membangun bahtera juga tentunya.
Biarkan kami melepas kekanak-kanakan ini, biarkan kami berekspresi.
Saya jadi teringat ucapan kakak saya sebelum ia meninggalkan Negeri ini
menuju Deutschland sana, katanya, “sebelum kita berdua melepas lajang,
mari sempatkan berlibur bersama, berdua saja. Ke Maluku mungkin, atau ke
mana saja..” Saya mulai memahaminya, dan menyepakatinya di dalam hati.
Kini kenangan di masa lajang sudah tersimpan rapi dalam memori dan hati
ini. Tenang saja, saya akan tetap mengganggumu, kok, Syay! Jangan
menghindar, ya!
Siang itu, di saat matahari (seharusnya)
berada tepat di atas kepala kita, Syayma menceritakan kisahnya—yang
sebagiannya sudah saya dengar sebelumnya. Kisah yang singkat dan
menarik. Saya setuju dalam beberapa hal, yakni ketika akad tidak diberi
waktu terlalu lama setelah khitbah, ketika guyonan Abinya yang mengatakan bahwa feeling itu
datang dari inisial yang sama antara Abinya Syayma dengan Syukri, ini
juga menarik. Dan segala apa yang kami rasakan, tumpah ruah dalam waktu
yang saya rasa supersingkat itu. Hingga pada akhirnya pengantin pria
selesai dari shalatnya, dan kami harus segera meninggalkan TKP (Tempat
Kejadian Pernikahan). Sisa-sisa rindu kami lepaskan di pelukan-pelukan
terakhir. Di sisa-sisa itu, lidah saya kembali kelu, dan hanya dapat
mengucapkan kembali, “Baarakallahu lak”.
Gambar 2. Pengantin Baru, Syayma dan Syukri
***
Terasa
singkat sekali hidup ini, Syay. Oleh karenanya tak bisa kulupakan
kejadian-kejadian unik yang pernah kita alami. Aku ingat betul
detailnya, saat-saat menjadi marbot masjid, saat-saat mendampingi si
ketua OSPETA ke mana pun ia dipanggil. Saat-saat berlomba dalam segala
kebaikan, tantangan-tantangan yang mengajarkanku. Nasihat-nasihat,
dorongan-dorongan, yang nilainya tak terhitung saking besarnya.
Sampai-sampai aku harus menyadari, bahwa kita harus belajar ikhlas dari
seorang ibu yang berkali-kali ditinggal oleh anaknya. Sembilan bulan di
dalam perut, dan mengasuh sampai balita, setelah itu harus melepas
kepergiannya ke Sekolah Dasar—yang padahal hanya sebentar—rasanya pasti
berat, sangat khawatir, tapi ia ikhlas. Lalu beranjak remaja anaknya
disekolahkan jauh dari rumah, di sebuah pondok pesantren, kadang mampu
menjenguk, kadang tidak, ujian kesabaran dan keikhlasan, biarlah
percayakan pada mudir dan segenap pendidik untuk mendidik anaknya. Tidak
lama, setelah beranjak dewasa, ia harus ditinggal lagi, anaknya
merantau untuk mengenyam pendidikan tinggi. Makannya bagaimana?
Pergaulannya bagaimana? Hafalannya bagaimana? Semua pertanyaan tertahan
sesekali, tertuang sesekali. Tegarnya ibumu. Belum berakhir, sekali lagi
ibu harus mengalami ‘ditinggal’ untuk ke sekian kalinya, ketika ada
seorang lelaki yang antah berantah, masih asing rasanya, meminta anaknya
untuk dibawa berkelana. Siapa yang tidak khawatir? Hanya karena percaya
kepada Allah, hanya karena mengingat bahwa anak adalah titipan Allah,
ia bisa bersabar dan ikhlas. Sungguh luar biasa seorang ibu itu, ya,
Syay…
Maka, jadilah ibu yang dirindukan anak-anaknya di syurga
nanti, dan jadikanlah ibumu orang pertama yang kau raih bersamamu masuk
ke dalam syurga nanti. Jadilah istri yang shalihah, bahwa seorang suami
tetap harus mendahulukan ibunya sebelum istrinya, dan bahwa kepatuhan
istri dalam kebaikan adalah harga mati. “Mereka (istri-istrimu) adalah
pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka…” (QS 2:187).
Teruslah saling menjaga dan saling menasihati, saling terbuka, saling
memaafkan dan berlapang dada, dan jagalah aib sesama. Semoga Allah
berikan cahaya, rahmat, barakah dalam rumah tanggamu, dan dari sana
lahirlah mujahid-mujahidah tangguh, para pembawa Al Qur’an, para pembawa
panji-panji Allah. Baarakallahu lakum…
Jika doa adalah
hadiah terbaik, maka akan kuberikan ribuan doa untukmu, meski tak kasat
mata hadiah tersebut. Terimalah…selamat mengarungi bahteramu,
kawan…sampai bertemu di syurga nanti. Allahu yarham...
***
Kisah ini diakhiri dengan terdamparnya diri saya di emperan stasiun Pasar Senen, karena ketinggalan kereta. Lalu sesampainya di kota rantauan, lagi-lagi saya terdampar, tapi kali ini di kamar yang nyaman dan membuat saya tak berkutik berjam-jam, meninggalkan rencana yang berakhir menjadi (hanya) sebuah rencana.
Hidup yang singkat ini,
sangat serakah rasanya jika hanya digunakan sekadarnya, yang penting
nikmat, yang penting enak. Tidaklah, cukup kau* saja yang serakah,
jangan ajak-ajak saya! Hehe.. (*kau=no one)
Gambar 3. Pengantin Perempuan beserta Perusuh
***
Purwokerto, 2 Maret 2016
-Ditulis di keheningan malam, dalam kesendirian-
Comments
Post a Comment