Tidak Boleh Menikahi Anak Ekonomi dan Pertanian?

Suatu hari di sebuah ruang penuh kenang, kami bercengkerama, menghasilkan sebuah percakapan sarat canda, “Dosenku pernah bilang, ‘kalian sebagai anak Biologi dilarang pacaran dengan anak Ekonomi dan Pertanian,’ terus ada yang dengan beraninya nimpalin, ‘kalau nikah boleh, kan, Pak?’ kamu tahu ekspresi dosenku kayak gimana?”

Saya memberikan ekspresi ingin tahu sambil menarik ujung bibir barang setengah senti. Sejujurnya saya selalu tertarik dengan caranya bercerita, ia mampu mengekspresikan sampai pada level maksimal hingga membuat pendengarnya mampu merasakan apa yang sedang ia rasakan. Kali ini saya merasa geli. Tanpa dijawab dengan kata-kata, dia mengerti saya ingin tahu jawabannya. Lalu dia bersiap menirukan ekspresi dosennya yang agak terkejut dan seperti mati gaya.

“E, iya.” Katanya, lalu ia melanjutkan, “udah gitu aja, intinya pacaran itu gak boleh. Nikah boleh. Hahaha.”

“Jadi…kenapa anak Biologi gak boleh nikah sama anak Ekonomi atau Pertanian?” tanya saya, mengabaikan konteks yang ia garis bawahi.

“Karena, anak Biologi itu, kan, seharusnya melestarikan alam, menjaga. Sedangkan anak Ekonomi, mereka memikirkan profit, ya mereka mengeksploitasi alam demi memperoleh profit.”

“Em, okay, anak Pertanian?” 

“Anak Pertanian itu, kan, membudidaya. Jadi mereka melakukan pembudidayaan tanaman sana-sini tanpa memerhatikan keseimbangan ekosistem. Yaa, gak sesuai dong sama anak Biologi. Jadi kalau anak Ekonomi nikahnya sama anak Pertanian, nah itu cocok banget, nyambung,” jawabnya penuh semangat. Saya tertawa, membayangkan bagaimana jika anak Biologi dan anak Ekonomi menikah. Eh, tapi setelah diingat-ingat ada kok Mbak Biologi dan Mas Ekonomi yang menikah, dan mereka sudah dikaruniai anak sekarang. Hehe, jangan serius-serius amatlah. Sebenarnya ini dalihnya saja yang memang tidak ingin menikah dengan makhluk-makhluk dari dua fakultas itu, mungkin.

“Makanya, nikahnya sama anak tarbiyah aja,” kata saya. Dia menoleh, matanya agak memicing. “Iya, anak tarbiyah di IAIN, hahaha,” lanjut saya. Dia ikut tertawa, “ooh, tarbiyah itu. Kenapa tarbiyah? Kenapa gak dakwah?”

Yaa, aslinya sih apa saja boleh. Saya bilang begitu karena menikah dengan anak syari’ah (maksud saya yang mendalami ilmu-ilmu agama Islam) sepertinya adalah pilihan tepat. Tapi ingat, visi kalian harus sama dulu. Jangan sampai karena terobsesi menikah dengan anak syari’ah, eh gak tahunya ketemu dengan makhluk liberalis. Takut juga, ya. Yang kita harapkan dituntun menuju cahaya Allah yang terang benderang, malah terseret pada kabut tebal bernuansa kelabu. Sekali lagi, aslinya apa saja boleh. Menikah dengan siapapun, anak Ekonomi, anak Hukum, anak Pertanian, anak Teknik Geologi, anak Statistika, anak LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), anak STSN (Sekolah Tinggi Sandi Negara), anaknya intelijen, anaknya pak Kiyai, anaknya Bupati, ataupun anaknya miliarder. Boleh. Asalkan ia mampu menunjukkan itikad terbaiknya untuk membangun keluarga sembari membangun istana di surga Allah kelak. Kalau bukan anak apa-apa dan siapa-siapa? Yaaaa, gak begitu juga, minimal tahulah dia anak manusia atau anak kucing.

Lalu ada apa dengan anak syari’ah? Well, saya teringat dengan cita-cita yang sempat tercetus oleh seorang teman ketika Sekolah Menengah Atas 4 tahun lalu. Dia bercita-cita menjadi seorang ahli fiqh, di samping ia juga bercita-cita menjadi dokter. Itu cita-cita mulia. Keduanya mulia. Tapi menarik bukan? Di saat orang-orang merangkai mimpinya untuk mendapatkan kehidupan yang layak di dunia, untuk menyejahterakan diri dan keluarganya di dunia, untuk memakmurkan diri dan keluarganya di dunia, masih ada yang mampu mengucapkan cita-cita mulia itu; ahli fiqh. Fuqaha. Jika mereka tidak memikirkan akhiratnya, dan tidak memikirkan perbaikan ummat, akan sulit mencapai derajat itu. Agaknya bercita-cita menjadi bagian dari mereka sementara diri ini masih terus-terusan memikirkan materi di dunia adalah seperti janji para pengumbar janji; melayang di udara. Jika begitu, saya yakin kita tidak benar-benar memimpikannya. Karena begitulah fuqaha. Kecintaannya pada ilmu tak pernah kalah oleh kondisi diri yang serba terbatas. Sementara kita, ketiadaan kendaraan saja sudah cukup besar menghambat perjalanan menuntut ilmu yang mungkin jaraknya kurang dari 2 km. Menyedihkan!

Menyelami ilmu agama adalah keharusan. Seberapapun umumnya bidang studi yang kita tempuh saat ini. Itu mengapa saya mengatakan menikah dengan orang syari’ah itu pilihan tepat. Karena kalaupun ingin dibenturkan dengan bidang studi kita yang umum, akan tetap nyambung, kok! Dan pastinya karena kita menginginkan keluarga kita dibangun dengan nilai-nilai agama, gak mau dong Raja di istana kecilmu gak paham apa itu zakat maal, bagaimana mengeluarkan zakat fitrah, bagaimana mendidik anak agar dekat dengan Tuhannya. Ya, walaupun tidak sedikit kini mereka yang mendalami bidang studi politik—misalnya—tanpa sedikitpun meninggalkan ilmu-ilmu agama, mereka haus akan setiap ilmu. Tidak sedikit, percayalah. Intinya tetap satu, jadikanlah agama sebagai pertimbangan utamamu dalam memilih pasangan. Begitu, kan, perintah Rasul?

So, jangan terlalu diambil pusing ketika ada seorang Ustadz melamarmu, baik perangainya, luas ilmunya, tetapi pendidikan formalnya di bawah kamu (jangan lupa pastikan dulu bahwa ia belum beristri). Apalagi mengambil pusing ketika kamu yang anak Biologi dilamar oleh seorang sarjana, baik perangainya, luas ilmunya, tetapi dia sarjana Pertanian. Karena…..akan lebih pusing ceritanya jika mereka datang secara bersamaan.[]

Comments

Post a Comment

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita