Pertemuan Singkat

Tidak hanya satu-dua orang yang memintaku menuliskan kisah ini. Meski sulit menuliskannya sebab kisah kami sebelum bersatu amatlah singkat, tapi rumit, dan tidak semua hal dapat diceritakan. Paling tidak kealpaanku dalam tulis menulis dapat terobati dengan menuliskan kisah ini.

Izinkan aku membasahi kerongkongan sejenak.

Baik, kisah ini berawal dari bentangan jarak yang amat tak disangka, meski sebagian orang menganggap “sangat mungkin” dikarenakan kami aktif dalam satu organisasi yang sama. Maka perlu kutegaskan di awal, organisasi ini adalah organisasi besar yang pusatnya memayungi cakupan wilayah, lalu daerah, lalu komisariat. Sangat banyak anggotanya yang tidak saling mengenal, karena Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) benar-benar se-Indonesia. Lalu di mana keberadaan kami? Aku berada di kota kecil bernama Purwokerto, saat itu, sebagai Ketua Umum Pengurus Komisariat Soedirman. Sedangkan ia berada di Kota Yogyakarta, sebagai Ketua Umum Pengurus Komisariat UIN Sunan Kalijaga. Lantaran ke-kuper-anku serta ketenarannya yang belum begitu meluas, aku tidak mengenalnya, sama sekali, apalagi ia terhadapku yang remeh ini.

Satu-satunya irisan kami adalah organisasi ini. Kami tidak pernah berada dalam satu almamater, bahkan menetap di kota yang sama pun tidak, kurasa. Dan satu-satunya kesempatan kami bersua-sapa—untuk pertama kalinya—adalah bersebab acaraku yang sedikit neko-neko.  Kusebut neko-neko karena persiapan kami tidak cukup matang, bahkan tema acara baru muncul sebulan sebelum acara. Dengan target mengundang pembicara luar daerah pastinya ini terbilang neko-neko dong. Hingga panitia yang telah terbentuk disibukkan mengurusi konsep hingga teknis acara, kujanjikan mencarikan pembicara eksternal yang setidaknya mampu membawakan alur seminar sebagaimana yang direncanakan. 

Aku menghubungi Ketua Umum Pengurus Daerah (PD) Purwokerto saat itu—yang kepadanyalah ucapan terima kasih harus sampai pertama kali karena ia telah mempertemukan kami—dan meminta rekomendasi pembicara. Ketika kuberitahu tema yang harus dibawakan, serta merta ia menyebutkan sebuah nama dan memberikan sedikit gambaran tentangnya—yang nyaris tidak kukenal sama sekali. Aku hanya pernah mendengar judul sebuah karyanya dalam tulisan, “Islam Gak Liberal”, dan karyanya dalam perfilman, “Tausiyah Cinta”. Yang terakhir itu sangat familiar bagiku, belum lama (di bulan yang sama) aku mengikuti acara roadshow-nya di Purwokerto. Overall, aku tidak tahu usia berapakah ia, bekerja di mana, punya istri dan anak berapa, bagaimana kesibukannya, dan berapa semestinya ia dibayar ketika diundang sebagai pembicara.

Maka skenario itu pun dimulai. Aku menghubunginya melalui pesan singkat, kami berbalas pesan mengenai rencanaku mengundangnya, dan ia menyanggupi. Pesan singkat kami beralih ke whatsapp karena perbedaan operator pasti menguras pulsa lebih banyak. Ini merupakan cerita yang terlupa dari ingatanku. Aku tidak ingat bagaimana aku menghubunginya, menyampaikan maksudku, bagaimana ia membalas pesanku, dan pesan-pesan yang biasanya mudah kuingat secara detail. Mungkin karena diriku saat itu—atau hingga kini—bergelimang dosa sehingga dijauhkan dari ingatan yang baik.

Aku memintanya mengirimkan biodata melalui email. Lalu, dari biodata itulah aku tahu dan terkejut karena (ternyata) ia seumuran denganku. Aku pun baru mengetahui bahwa ia telah menelurkan dua karya dalam bentuk buku, selain yang kusebutkan di atas, satu lagi berjudul “Jangan Berdakwah! Nanti Masuk Surga”. Paling tidak aku menemukan gambaran sesosok pemuda progresif, dan aku hanya mengangguk sambil memajukan bibir bawahku, mirip mencibir, tapi sungguh bukan cibiran. Aku hanya menyadari bahwa orang ini benar-benar kubutuhkan dalam acaraku. Dan aku semakin yakin harus mengongkosinya pergi pulang, melanggar titah Ketua Umum PD Purwokerto agar memberikan fasilitas instruktur kepadanya; tanpa transportasi dan akomodasi. Kucarikan transportasi yang memungkinkan—dan saat itu hanya travel yang mungkin, kuminta sekretarisku (ia seorang lelaki) menyiapkan akomodasi selama ia berada di Kota Satria hingga meninggalkannya.

Tibalah hari itu, tertanggal 3 Oktober 2015, ketika ia sampai di Purwokerto lebih awal dari perkiraan, sedangkan sekretarisku masih sulit dihubungi. Kutelepon beberapa teman lelaki, dan kebanyakan di antara mereka tidak menjawab teleponku, di antara yang lain nomornya tidak aktif. Beruntung pembicara ini cukup bersabar, ia menenangkanku dengan mengatakan ia sedang ngopi. Maka setelah sekretarisku dapat dihubungi, agak bossy aku menyuruhnya segera menjemput. Terlepas dari acara sepatu tertinggal di pool travel, kedatangannya di tempat acara tepat waktu. Sudah makan, dan pastinya sudah mandi, karena penampilannya rapi. Cukup singkat, setelah acara ia langsung dipulangkan menggunakan Bus Efisiensi. Kubekali beberapa oleh-oleh, di antaranya ada keripik tempe dan pisang leleh—dua hal ini cukup penting kusebutkan. Kami tidak berbincang kecuali ketika menyambutnya di depan gedung dan ketika menawarkan pulang dengan kereta atau dengan bus.

Aku masih berkomunikasi dengannya melalui whatsapp perihal oleh-oleh dan testimoni. Ia bercerita tentang keripik tempe yang ludes oleh penghuni kontrakannya, lalu aku meminta testimoni tentang pisang leleh, memenuhi permintaan si bos. Hari-hari berikutnya beberapa kali ia mengirimkan kepadaku link tulisan di website-nya. Dan aku baru sadar, ternyata ialah yang menulis sebuah artikel berjudul “Seteguh Ibrahim, Setaat Ismail, dan Setegar Sarah” yang belum lama disebarkan di media sosial sebagai peringatan Hari Raya Idul Adha, aku sudah membacanya. Tulisannya apik, semua artikelnya ditulis dengan bahasa yang menarik, renyah, mudah dipahami, tetapi tidak umum. Aku yakin ia memiliki pembendaharaan kata yang amat kaya, dan itu semakin jelas setelah kutahu julukan baginya, “perpustakaan berjalan”. Lebih belakangan lagi ia mengaku dijuluki “berandal kutu buku”. Dan aku bersaksi atasnya kini.

Suatu hari aku memesan bukunya sebanyak empat buah (bukan untukku), dan ia memberikan bonus satu buku, yang kemudian kusimpan untukku sendiri. Di hari lain kami berbincang mengenai KAMMI, kader-kadernya, film Tausiyah Cinta, sedikit yang berhubungan dengan sejarah, bahkan komentar-komentar tentang tata bahasa. Satu hal yang penting kuceritakan adalah aku sempat mengatakan kepadanya bahwa aku telah berazzam mengeluarkan uangku untuk menonton Tausiyah Cinta sejak roadshow di Purwokerto September lalu. Ah, banyak topik yang dengan mudahnya mengalir menjadi pembahasan kami. Maka semakin jelaslah bahwa berbincang dengannya memang menyenangkan. Aku yakin kau pun akan membenarkan. Bahasanya baku tapi luwes, runtut, rapi, jika memberikan analogi amat pas dan logis. Mungkin siapapun yang berkomunikasi dengannya akan terlarut dalam pembicaraan panjang. 

Namun, tak disangka komunikasi kami terhenti mulai di bulan November 2015. Ia tidak berkeinginan menghubungiku. Begitupun aku tidak merasa perlu menghubunginya, jikapun ada yang ingin kutanyakan, aku segan bertanya padanya. Kami benar-benar lost contact. Ya, sepertinya aku memang ditakdirkan sebatas mengenalnya dengan sekali pertemuan singkat dan pembicaraan yang tak berlangsung lama. Kurasa cerita ini akan berakhir sampai di sini meski saat itu aku tidak benar-benar peduli, toh memang kami sangat baru saling mengenal dengan perkenalan yang sekadarnya. Kami baru bertemu satu kali dalam pertemuan singkat. Maka, jika akhirnya koneksi itu terputus, it will be very likely. Hidup di dunia memang seperti itu bukan? Kita saling bertemu untuk kemudian berpisah. Begitu banyak orang yang berlalu-lalang dalam hidup kita, memberikan kesan mendalam atau bahkan tidak sama sekali, yang teringat atau terlupa, yang terasa atau tidak terasa, yang patut diceritakan ataupun tidak. Semua adalah bumbu kehidupan. Satu hal yang perlu diingat, setiap perkenalan adalah anugerah, karena sedikit saja kebaikan yang kita bawa dalam perkenalan tersebut mampu menjadi pemberat amal di akhirat nanti.

Di awal bulan Desember, aku dikabari oleh teman dekatku yang kebetulan bagian dari tim promosi (atau apalah) film Tausiyah Cinta, bahwa pada tanggal 24 Desember akan diadakan “nonton bareng” di Purwokerto. Aku teringat azzamku, dan segera memesan tiket sekaligus untuk tiga orang. Belakangan aku baru tahu ternyata talent yang dihadirkan adalah orang itu. Ya, yang kuundang di acara neko-neko-ku.[]

Comments

Post a Comment

Popular Posting

Mengapa Jadi Begini?

REFUND (2)

Benda Asing di antara Kita