Gelap
Suatu hari aku ditunjuk menjadi salah satu instruktur sebuah
daurah yang diadakan oleh Unit Kegiatan Kerohanian Islam (UKKI) Unsoed.
Pekerjaanku adalah menjadi fasilitator materi kedua dalam daurah tersebut,
walaupun disebut fasilitator—biasanya—pada akhirnya hanya menjadi semacam LO
bagi si pemateri. Pada rapat yang disempat-sempatkan, kami membahas perihal
seluruh materi selama daurah, tentu tidak terlupa siapa pemateri pada
masing-masing materinya. Baik, mari fokus pada inti masalah. Siang itu, aku
sedikit melakukan kesalahan.
Ketika bahasan sedang terkonsentrasi pada siapa yang menjadi pembicara pada materi ketiga yang bertema; “Studi Perkembangan Islam di Indonesia”, aku dengan nada ringan menyebutkan sebuah nama yang kukenal sejak 6 bulan lalu. Usulan itu didasari pengetahuanku yang minim bahwa ia menguasai sejarah Islam, juga sejarah Indonesia, dan tentunya sejarah Islam di Indonesia. Tanpa perdebatan panjang, usulan itu diterima. Kebetulan beberapa anggota rapat telah mengenal bahkan membaca beberapa artikelnya.
Ketika bahasan sedang terkonsentrasi pada siapa yang menjadi pembicara pada materi ketiga yang bertema; “Studi Perkembangan Islam di Indonesia”, aku dengan nada ringan menyebutkan sebuah nama yang kukenal sejak 6 bulan lalu. Usulan itu didasari pengetahuanku yang minim bahwa ia menguasai sejarah Islam, juga sejarah Indonesia, dan tentunya sejarah Islam di Indonesia. Tanpa perdebatan panjang, usulan itu diterima. Kebetulan beberapa anggota rapat telah mengenal bahkan membaca beberapa artikelnya.
Meskipun dalam kurun waktu satu bulan undangan tersebut
mengandung drama yang berarti seperti perdebatan mengenai fee yang harus
diberikan, negosiasi soal transportasi, sampai urusan term of reference (TOR)
pembicara, ia tetap memenuhi undangannya dengan rendah hati—ini karena fee
yang kami berikan tidak seberapa. Acara berlangsung pada bulan Ramadhan, juga
dengan drama seperti….ketinggalan kereta. Aku berusaha menghindar bertatap
wajah dengannya, ternyata takdir berkata lain. Ketika aku sedang sibuk
mengobservasi peserta di materi kedua—yang aku fasilitasi, aku dipanggil keluar
oleh seorang panitia yang ditugasi menjemputnya. Dan ternyata ada ia
bersamanya. Kami bersua basa-basi, kemudian ia diantar menuju ruang tunggu. Aku
menghilang di materi ketiga—di mana ia menjadi pematerinya, dan muncul pada
sesi diskusi di sore harinya—ia masih berada di dalam ruangan untuk memimpin
diskusi. Setelah shalat tarawih ia diantar meninggalkan tempat acara.
Pertemuan singkat itu menambah jumlah pertemuan kami yang memang
tak seberapa. Maka, ketika aku sampai di rumah menjelang lebaran itu, tak ada
jawaban yang benar-benar meyakinkan tentang kecenderunganku padanya. Aku pun
masih dalam kebingungan yang nyata. Sementara Ibuku terus mendesakku untuk
bersikap tegas pada tawaran Ayahku, “kamu harus menyampaikan kecenderunganmu”.
Bagaimana aku dapat menyampaikannya? Sedangkan aku saja masih ragu pada
keputusannya berkunjung ke rumahku selepas lebaran nanti. Dan setelah desakan
yang kesekian, akhirnya aku mengatakannya kepada Ayahku. Ke mana
kecenderunganku, dan apa alasannya. Sedikit dan sederhana saja, aku hanya
mengenalnya, sedangkan yang orang Tangerang ini, mendengar namanya saja baru.
Tapi entah mengapa alasan tersebut direspon baik oleh Ayahku, “begitu dong,
Neng. Jadi orang tua gak kebingungan,” jadi, tinggal aku yang masih
bingung?
Setelah lebaran ia menghubungiku, menyampaikan rencana
bertamunya yang membuatku terkejut bukan main. Ternyata memang ia tidak
main-main. Aku membicarakan hal itu pada Ibuku, sementara Ayahku masih di
Maluku saat itu. Berulang kali aku berpikir, dan bukan sekali itu aku merasa
ragu untuk melangkah lebih jauh. Perasaan takut dan khawatir itu muncul.
Yakinkah? Aku hanya mengenalnya sejauh pendengaran, melihatnya di balik
kacamata sebatas kemampuan, berbicara dengannya beralat tulisan, dan sejauh—yang
sebenarnya dekat saja—yang kutahu ia terlampau jauh di atasku. Bagaimana aku
bisa mengimbanginya? Paling tidak, bagaimana aku bisa mengikutinya? Terserah
kalian mau bilang apa, tapi aku merasa seperti remahan rangginang ketimbang
remahan bengbeng, dan ia bengbengnya. Sekalut itu pikiranku saat itu.
Pertengahan Juli, ketika pikiranku semakin kalut, dan guru ngaji-ku
sudah memberikan desakan agar aku segera menyelesaikan urusan ini dengan
berkata, “menurut saya, untungnya banyak lho menikah dengan orang yang
benar-benar baru dikenal. Setidaknya ketika kekurangan-kekurangannya terungkap
kelak, kita bisa lebih mudah menerima, karena kita tidak berharap terlalu besar
di awal tentang kelebihannya.”
Itu adalah bentuk dukungan yang jelas agar aku mau berproses
dengan lelaki berdomisili Tangerang itu. Sementara situasi semakin keruh akibat
yang berniat bertamu ke rumah setelah lebaran ternyata terpaksa mengurungkan
niat. Ibunya masih belum berkenan menyeriusi bujangnya dengan siapapun. Aku
pasrah sepasrah-pasrahnya hingga muncul perasaan ingin menyudahi semuanya. Aku tidak
ingin berharap pada apa dan siapapun selain Allah, biarkan Allah yang terangi jalannya. Jika
setiap keadaan kini menghalangi niat baik ini, bukankah menjadi pertanda jalan
ini digelapi? Mungkin aku tidak ditakdirkan dengannya. Mungkin ada seorang lain yang telah Allah siapkan untukku, dengan jalan yang lain pula. Meski begitu, tetap saja air mataku terurai. Mengingati
dosa-dosaku yang mungkin menjadi penghalang rahmat dan kemudahan dari Allah.
Ah, aku bicara apa.
Pikiranku pelan-pelan beralih pada tugas akhir yang terhutangi.
Biarkan aku selesaikan itu saja. Tapi tidak lama, menjelang akhir bulan Juli,
guru ngaji-ku mengirimkan biodata lengkap lelaki yang kukenal itu, berikut narasinya
yang berkaitan dengan rencana hidup berumah tangga. Tiga hari setelahnya, aku
dikabari oleh Ibuku, bahwa ia, seorang diri, akan berkunjung ke rumah pada
tanggal 30 Juli, menemui Ibuku atas izin Ayahku—yang masih di Maluku. Aku tidak
tahu-menahu isi pertemuan itu. Aku hanya diminta terus berdoa agar dibukakan
jalan yang Allah ridhai. Lalu, sepanjang Agustus aku disibukkan dengan tugas
akhirku hingga yudisium, dilanjut wisuda pada tanggal 21 September 2016.
Bulan-bulan itu aku menghindari obrolan tentang pernikahan atau perjodohan. Aku
serahkan segala keputusan kepada Yang Maha Memutuskan.
22 September 2016, sehari setelah aku wisuda, Ayahku mengajak
kami sekeluarga ke Yogyakarta untuk mengantar saudara kami berobat, selain itu,
ternyata ada tujuan lain. Ibu meminta Ayah menemui lelaki itu untuk sekadar
berkenalan, mengingat ketika ia berkunjung ke rumah Juli lalu hanya bertemu
Ibuku. Maka berangkatlah kami, dan pertemuan itu benar-benar terjadi di sebuah
tempat rekreasi bernama Taman Pintar. Sekali lagi aku tidak tahu betul apa yang
mereka bicarakan. Tetapi sepertinya Ayahku cukup puas dengan obrolan itu. Tidak
berlama-lama, hari itu juga aku kembali ke Purwokerto, sedangkan keluargaku
kembali ke Pandeglang. Dan pikiran itu kembali menghantuiku sampai beberapa
hari kedepan; jika ini berlanjut, apakah aku pantas mendapatkan ini semua?
Apakah aku mampu mengiringinya? Berulang kali aku menyadarkan diri bahwa ia
tidak mengenalku, begitupun aku. Apakah ia hanyalah ujian keteguhan hati
seperti yang sudah-sudah? Apakah ia tahu kekurangan-kekuranganku dan ingin
menerimanya? Akankah jalan ini terang pada akhirnya? Sungguh, aku takut.
Hingga suatu sore, aku dikabarkan mengenai rencana kedatangannya
bersama kedua orang tuanya di akhir pekan, tertanggal 8 Oktober 2016. Aku
diminta pulang ke rumah.
Aku tertegun. Kali ini, benarkah?
Comments
Post a Comment