Ketika Janji Akhirnya Terucap
*Baca tulisan sebelumnya, Ikatan yang Berbunyi Lamaran
Aku mengerti. Telah berlalu banyak kemungkinan yang
membuatku terjatuh, bangun, lalu terjatuh lagi, dan kemungkinan-kemungkinan itu
ternyata berasal dari kepalaku, dari akalku, dengan segala kegegabahan,
kebodohan, dan ketidaktelitiannya. Segalanya ku prediksi menurut pandanganku
tanpa melibatkan orang lain, tanpa mempertimbangkan variabel lain. Maka, muncul
lah keterjatuhan, keterpurukan, penyesalan. Begitu yang kualami, aku pernah
jatuh hati; hati terpukau, melayang, lalu terjatuh. Beberapa kali. Bersebab
perhitunganku yang salah. Kupikir dengan rasa suka, ditambah kedekatan, akan
menjadikan kami berjodoh. Ternyata tidak juga. Bukan, sama sekali tidak!
Lalu datang lelaki itu, mendekat penuh pesona, tetapi tak
sampai hati kurengkuh pesonanya, alih-alih menjauh. Pertanda demi pertanda
kuabaikan, aku tidak ingin jatuh untuk kesekian kalinya. Cukuplah aku dibodohi
oleh ilusi perasaanku sendiri yang memerintah akal untuk mengalkulasi, lalu
kalkulasinya meleset jauh. Lelah aku jatuh bangun, sudah kubangun benteng
kokoh, rapuh juga, ternyata tidak kokoh. Jadilah setiap bayangan, impian,
harapan indah, harapan baru, hingga harapan jaya hadir, selalu kutepis. Tidak
mungkin. Aku hanya satu perempuan di antara ribuan perempuan kenalannya yang
belum lama mengenalnya, belum lama berkomunikasi dengannya, bertemu hitungan
jari, bukan orang kaya, bukan anak kiyai, bukan anak pejabat, bukan anak
saudagar, anak pak RT pun bukan. Aku bukan orang yang pintar, walaupun banyak
yang mengataiku pintar, aku tidak mengetahui banyak hal, aku bukan presiden
BEM, bukan mahasiswa berprestasi, bukan penerima beasiswa. Berat badanku cukup
kecil, tak sebanding dengan penampakanku, dengan tinggi badan yang rendah. Aku
cantik, begitu kata banyak orang, tapi aku lebih mengakui perkataan segelintir
orang, bahwa aku lucu. Aku tidak atletis, tidak begitu menyukai bidang olah
raga walaupun ingin sekali menguasainya.
Aku tidak pandai bernyanyi, juga tidak percaya diri ketika
diminta bernyanyi, mungkin karena aku tidak pandai itu. Aku bukan penggila
‘hijab’, memakainya secara inovatif, sehingga mustahil aku diminta meng-endorse
busana, lagipula followers-ku sedikit. Atau justru karena followers-ku
sedikit? Aku tidak pernah melakukan tutorial make up, karena aku tidak
biasa ber-make up. Pengalamanku ber-make up hanya ketika aku
diminta menjadi pagar ayu di pernikahan tanteku, dan ketika aku wisuda, itu pun
make up tipis oleh sahabat bertalentaku, Athifah Hasna Shafiyyah dan
Suryani. Aku tidak pernah berniat
membuat semacam vlog, ber-haha-hihi di depan kamera, lalu dipublikasikan. Aku
tidak pernah menjadi pembawa acara, moderator, apalagi pembicara di acara
bergengsi, lalu mendadak tenar. Ah, perlahan tenar saja tidak. Aku suka ikut
demo, walaupun ragu setiap diminta orasi, tapi aku suka pegang megafon, yang
paling cocok untukku ketika berdemo sepertinya memang menjadi agitator. Meski
begitu, aku tidak pernah beraksi di atas panggung, apalagi di depan kamera
untuk berakting. Aktingku terakhir kali di atas panggung adalah ketika
Education Festival di SMA-ku, bersama tim ekstrakulikuler teater. Aku tidak
pernah mengaji di depan kamera lalu disiarkan di media sosial, karena bacaan
Qur’an-ku standar.
Inti dari semuanya adalah, jika dibandingkan dengan
perempuan-perempuan yang ia kenal dan mengenalnya dengan cara diurutkan
berbaris dalam sebuah ruangan, aku mungkin berada di pojok kanan belakang. Di
sisi paling gelap. Atau setengah gelap, aku tidak separah itu. Sedangkan ia,
ditawari anak pejabat dan anak kiyai saja pernah. Apalagi disukai perempuan
cerdas berprestasi, bersuara indah, berwajah cantik nan ayu, bertubuh tinggi
semampai, berakhlak mulia, bergelar hafizhah, berniqab, berpenghasilan tinggi,
ber-followers banyak, beralis tebal dan bergincu merah. Ah, ke mana
pikiranku melayang?
Ya, itu jika ingin membandingkan. Toh saat itu sebuah cincin
telah melingkar manis di jari manisku. Cincin yang disinyalir calon ibu mertua
sebagai pengikat, dan yang membuatku terpingit hingga hari H. Walaupun,
pertanyaan-pertanyaan masih menggelayuti pikiranku, tetap ada yang harus
mendominasi; persiapan pernikahan. Aku
anak kedua, kakakku perempuan, ia sedang menempuh pendidikan di Jerman. Adik
laki-lakiku kuliah, adik perempuan di bawahnya juga kuliah, adik perempuan di bawahnya lagi menjelang tamat SMA, adik
perempuan di bawahnya lagi menjelang tamat SMP, adik perempuan di bawahnya lagi
masih SD kelas empat, lalu ada adik laki-laki lagi yang masih kelas dua SD, dan
dua perempuan di bawahnya masih terlalu belia untuk kuajak berpusing-pusing
dengan persiapan itu! Ibuku bekerja sebagai pengajar SMA. Bapakku, sedang di Maluku,
menunaikan niatnya mendirikan pondok pesantren di sebuah desa, atau kota, di
sana. Kesimpulannya? Aku hampir sendirian mengurusi pernikahanku sendiri yang
harus mundur sehari!
Bersyukur calon suamiku mau dan bisa ketika kuminta
mengurusi beberapa hal, termasuk berdiskusi tentang tema.
“Tema bagaimana maksudmu?” tanyanya.
“Nuansa lah, yah, macam nuansa merah, atau serba hitam, atau
hijau,” jawabku sambil bergidik membayangkan acara pernikahan kami akan bernuansa
hitam, di Banten pula.
Kulanjutkan, “atau bertema princess, Frozen
misal.”
“Kalau gitu, Spongebob aja,” jawabnya. Membuatku membayangkan
nuansa bawah laut, dengan prasmanan krabby patty. Gaun kuning polkadot dan
pink. Pelaminan berbentuk batu setengah bulat atau berbentuk nanas. Aku
menyerah.
Diskusi singkat itu kuakhiri dengan gambar-gambar pelaminan
sebagai contoh. Lalu dipilah-pilih, ditimbang-timbang, ditakar-takar. Kami
sama-sama tidak ingin pusing, maka dipilihlah satu sebagai prototype.
Warnanya kami pilih merah keemasan. Selesai.
Aku yang pontang-panting mulai sering menangis di dua pekan
menjelang pernikahan. Akibat anggaran yang membengkak, deadline yang
mendesak, dan ujian keimanan yang semakin menjerat. Benar kata mereka, semakin dekat hari H ujiannya semakin banyak. Kadang rasa ragu itu
singgah. Kadang rasa tidak percaya, tidak sabar, tidak kuat, tidak mau
menanggung konsekuensi, dan lain sebagainya hinggap. Aku sadar betul siapa
orang yang akan aku nikahi berikut konsekuensinya, dan itu kadang mebuat mataku
semakin basah. Sudah sampai sini, semua ragu harus kutepis, dan setiap
konsekuensi harus kupeluk. Jika Allah berkehendak, pasti Allah berikan jalan
keluar, Allah tunjukkan kebenaran, Allah berikan kekuatan. Jika Allah jodohkan
kami, dijodohkan pula sifat kami, dijodohkan pula rasa percaya kami, kelemahan dan
kekuatan kami. Maka, meskipun hari-hariku semakin biru, kujalani semua hingga memerah-emas.
Ku urus berkasku, ku pergi ke KUA, sendiri. Ku survei gedung sendiri, ku kontak
wedding organizer untuk tata rias dan dekorasi, sendiri. Ku pastikan menu
hidangan prasmanan sendiri. Ku pesan souvenir pernikahan sendiri, pilih
sendiri, nego sendiri. Semua serba sendiri. Terkadang dibantu adik perempuanku
yang SMA, dan tak jarang arahan dari kakak perempuanku. Satu hal yang amat
lekat teringat adalah aku harus belajar menggunakan lensa kontak. Lalu kapok.
Saudara-saudaraku satu persatu pulang ke rumah, yang di
Jerman, yang di Purbalingga, yang di Sumbawa, di hari-hari terakhir aku
melajang. Lalu, tak terasa hari itu tiba. Aku masih dengan kesadaran penuh, ketika
beberapa sahabat mengontak, mengabarkan bahwa mereka menginap di hotel dekat
gedung resepsiku, terharu aku dibuatnya.
Ada pula sahabat yang awalnya tidak bisa hadir mendadak bisa. Dan tidak
sedikit yang mengabarkan tidak bisa hadir. Mereka semua setidaknya mampu
membuat otot-otot leherku sedikit mengendur.
***
12 Desember 2016
Aku tak paham lagi bagaimana perasaanku. Amat kacau, dag-dig-dug,
hingga tak sadar di depanku berbaris sahabat-sahabat cantikku, melambaikan
tangan, tapi tak kugubris hingga ada yang menghadang. Masjid Agung Pandeglang
sudah mulai ramai, aku bersembunyi di balik tirai, telapak tangan dan kakiku
dingin, mataku berair, lensa kontak mendramatisasi keadaan. Lupa aku untuk
berfoto dengan gaun pengantin sesi akad, apalagi membuat story di
instagram. Seakan-akan itulah hari paling menegangkan selama hidupku, setelah
mendengar kabar orang tuaku kecelakaan beberapa tahun silam.
Akhirnya janji terucap, tanda lepaslah lajangku, tanda berpindah tanggung
jawab Ayahku, tanda berpindah sepenuhnya baktiku, tanda berubah statusku, tanda
aku telah bersuami. Masa lalu kini telah menjadi prasasti, dongeng yang pernah
kurangkai menjadi nyata dengan sedikit perubahan. Tak ada lagi cerita jatuh
yang sama. Tak akan ada lagi penyesalan, karena ketika mahligai tersibak, duduk
kedua mempelai berselimut ridha dan berkah Allah, maka tak ada lagi yang perlu
diusahakan selain saling menyenangkan, saling melindungi, saling menutupi aib,
berlomba mengharmoniskan, dan mempertahankan keharmonisan, saling mengingatkan
dalam kebaikan, dan semua ‘saling’ yang Allah ridhai. Aku, dengan tangan
gemetar meraih tangannya untuk kukecup, menundukkan kepala, menyerahkan jiwa
ragaku untuk dididiknya. Melepaskan kebebasanku demi kebebasan bersamanya. Mengusahakan
perbuatanku mengiringi ridhanya.
Menikah sama sekali bukan hanya soal melampiaskan syahwat.
Tidak seenak itu. Tetapi ganjarannya lebih enak dari itu.
***
“Bang, jadi apa alasan kamu milih aku?”
“Alasan? Karena kamu kalau nulis gak disingkat-singkat.”
“……”
[]
Comments
Post a Comment